Strategi Israel yang Efektif dalam Pertempuran dan Pengembangan Senjata Modern

by -228 Views

Perang terbuka yang terjadi antara Israel dengan kelompok Hamas di Palestina kembali membuka tabir kekuatan militer Israel. Meski telah digempur dengan serangan besar oleh Hamas pada pekan pertama Oktober 2023 demi merebut kembali tanah warga Palestina dari okupansi Zionis, negara itu kini memporak porandakan Gaza dengan peralatan militernya.

Pada serangan besar akhir pekan lalu, tercatat sekitar 5.000 roket diluncurkan Hamas dan masuk ke wilayah Israel hingga menimbulkan korban jiwa. Namun, Israel membalas serangan yang berbuntut pendeklarasian perang. Alhasil, aksi tembak-menembak pun terjadi hingga sekarang hingga memakan banyak korban sipil.

Sejarah sebetulnya telah mencatat bahwa Israel sebagai sebuah negara yang diproklamirkan pada 1948 di tanah Palestina itu sering menang perang. Saat dikeroyok negara Arab sesaat setelah merdeka pun, Israel tetap menang.

Tak heran, Israel kerap disebut negara dengan kekuatan militer mumpuni di dunia hingga menjadi negara berpendapatan tinggi berdasarkan catatan World Bank. Kekuatan militernya pun menjadi komoditas penjualan yang ditawarkan ke negara lain. Lantas, bagaimana hal ini bisa terjadi?

Awal Mula Kekuatan Militer Israel
Sejak David Ben-Gurion memproklamirkan pendirian Negara Yahudi pertama di dunia, negara-negara Arab langsung bereaksi keras. Mereka tidak bisa menerima kehadiran Israel di Timur Tengah yang menindas warga Palestina. Alhasil, perang pun selalu terjadi di masa-masa berikutnya.

Posisi ini membuat Israel berada di situasi sulit. Memang, Israel sejak awal didukung penuh oleh Amerika Serikat dan negara Barat lain. Namun, Tel Aviv juga menyadari bahwa dukungan tersebut tak selamanya abadi.

Atas dasar ini, menurut Yaakov Katz dalam The Weapons Wizard: How Israel Became a High-Tech Military Superpower (2017), Israel mulai melakukan kemandirian di sektor militer.

Bagi Tel Aviv, berada di ‘lautan amarah’ membuat sektor pertahanan negara harus sangat baik. Jika sewaktu-waktu diserang, maka negara tidak akan runtuh begitu saja dan bisa melakukan serangan balik ke musuh. Maka, perintah pertama David Ben-Gurion bukanlah fokus membangun ekonomi, melainkan membangun Israel Defense Forces (IDF).

Singkat cerita, kehadiran IDF disambut positif pihak AS. Sebab, Paman Sam punya kepentingan di sana dan ingin menjadikan Israel sebagai perisai untuk menghalau kebangkitan kekuatan negara Arab dan pengaruh Soviet di Timur Tengah.

Atas dasar inilah, bantuan dari AS ke IDF mengalir deras.

Dalam dokumen US Foreign Aid to Israel (2022), tercatat Israel adalah penerima bantuan terbesar dari AS sejak Perang Dunia II.

Al Jazeera menulis dari 1946 sampai 2023, AS sudah mengirimkan bantuan militer senilai US$ 124 miliar atau Rp 1.946 Triliun. Tentu ini belum memperhitungkan transfer pengetahuan teknologi yang tak bisa dihitung secara ekonomis.

Berkat besarnya bantuan tersebut tak heran IDF bertransformasi menjadi militer modern terbesar di dunia. Pada titik inilah, IDF mulai ‘menjual diri’.

Bisnis Senjata
Sadar bahwa negaranya minim sumber daya alam dan komoditas lain, pemerintah mulai melakukan penjualan senjata produksi dalam negeri ke dunia internasional. Perlu diketahui, Israel tak cuma menerima pasokan senjata dari AS. Namun, juga memproduksinya sendiri.

Menurut catatan Antony Loewenstein dalam The Palestine Laboratory: How Israel Export the Techology of Occupation Around the World (2023), produksi ini dilakukan sejak 1990-an sebagai upaya Israel melepas ketergantungan senjata dari AS. Sejak itulah riset besar-besaran pun dilakukan Israel untuk produksi senjata.

Diketahui, masih mengutip paparan Yaakov Katz, Israel rela menghabiskan sekitar 4,5 persen GDP negara untuk penelitian dan pengembangan. Dari jumlah itu, sekitar 30 persen anggaran penelitian disalurkan untuk mengembangkan industri pertahanan.

Beranjak dari sini, lahirlah empat perusahaan senjata ternama dunia, yakni Elbit, RAFAEL, IMI (Israel Military Industries), dan IAI (Israel Aircraft Industries). Semua produksi perusahaan, dari mulai drone, tank, rudal dan sebagainya, sukses menarik perhatian dunia.

Sebagai contoh, Tel Aviv berhasil menciptakan tank Merkava, salah satu proyek militer paling rahasia Israel. Tank tersebut dianggap sebagai paling mematikan bagi musuh dan paling aman bagi pasukannya.

Lalu ada pula drone Heron buatan IAI. Menurut catatan Antony Loewenstein, drone Heron menjadi senjata andalan Uni Eropa untuk memantau datangnya para imigran dari Timur Tengah dan Afrika. Drone yang mampu terbang selama 40 jam non-stop ini dibeli Uni Eropa dalam paket kemitraan senilai US$ 91 juta di tahun 2020.

Menariknya, riset Antony Loewenstein dalam The Palestine Laboratory: How Israel Export the Techology of Occupation Around the World (2023) memaparkan, selama menjalani bisnis senjata, Israel menjadikan Palestina sebagai laboratorium.

Jadi, konflik Israel-Palestina difungsikan sebagai sarana ujicoba persenjataan Israel yang bisa dijadikan alat promosi saat menjual senjata. Ketika itu berhasil, maka bakal bisa menarik lebih banyak negara untuk membeli senjata Israel.

“UE telah bermitra dengan perusahaan pertahanan terkemuka Israel untuk menggunakan drone-nya, dan tentu saja pengalaman bertahun-tahun di Palestina adalah kuncinya nilai jual,” kata Antony.

Lebih lanjut, Antony menyebut, “Warga Palestina adalah kelinci percobaan bagi teknologi Israel.”

Atas dasar ini, tak heran apabila Israel masuk ke dalam eksportir senjata terbesar yang memainkan peran penting dalam membentuk tren militer dan geopolitik global.

Mengacu pada Database Transfer Senjata SIPRI di Maret 2023 menunjukkan Israel adalah eksportir senjata terbesar ke-10 dunia, menyumbang 1,4% dari penjualan senjata global selama periode 2018-2022. Lebih lanjut, The Stockholm International Peace Research Institute menunjukkan Israel masuk 10 besar eksportir senjata di dunia pada 2017-2021 dengan kontribusi 2,4%.

Sementara merujuk pada Reuters dan Times of Israel, ekspor persenjataan Israel menembus US$ 12,5 miliar pada 2022 atau sekitar Rp 196,63 triliun (US$1=Rp 15.730). Nilai tersebut lebih tinggi 9,6% dibandingkan pada 2021 US$ 11,4 miliar yang menjadi catatan rekornya.

Dan itu semua dilakukan setelah Israel sukses menjadikan Palestina sebagai ‘laboratorium’ bisnis senjata.