Penduduk Jakarta Terdampak Panas yang Menyengat, Mereka Mengimpor Es Batu

by -111 Views

Bagi masyarakat Indonesia yang hidup di kawasan tropis cuaca panas bukan hal yang asing. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia. Mereka selalu merasa panas dan tidak tahan dengan sinar matahari tropis. Oleh karena itu, pada tahun 1845, salah satu hotel di Batavia bernama Hotel de Provence memperkenalkan es batu sebagai salah satu menu andalan setiap malam.

Es batu ini berfungsi untuk menurunkan suhu tubuh orang-orang yang merasa kepanasan, baik itu penduduk lokal atau orang Eropa. Yang menarik, pada saat itu es batu tidak dibuat dengan menggunakan kulkas atau lemari pendingin seperti sekarang ini.

Kulkas atau lemari pendingin belum ada di Hindia Belanda saat itu. Tidak ada satu pun orang, baik itu bangsawan lokal maupun orang Eropa, yang memiliki peralatan tersebut. Bahkan, bentuk es pada umumnya juga masih belum pernah dilihat oleh masyarakat. Hanya orang Papua yang tinggal di Pegunungan Jayawijaya yang pernah melihat es. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapatkan es batu adalah dengan cara mengimpor.

Ya, Anda tidak salah dengar. Es batu pernah menjadi salah satu komoditas impor di masa kolonial akibat tidak adanya mesin pendingin. Hal ini diungkapkan oleh sejarawan Achmad Sunjayadi dalam bukunya “Titik Balik Historiografi di Indonesia” (2008).

Menurut Sunjayadi, es batu menjadi daya tarik sendiri bagi pengunjung Hotel de Provence di Batavia. Mereka menikmati es sambil menonton pertunjukan musik. Suhu tubuh yang panas seketika berubah menjadi lebih nyaman.

Orang di balik impor es batu oleh hotel ini adalah Etienne Chaulan. Dia adalah perintis penjualan es batu di Batavia. Berkat usahanya, hotel dan banyak orang lainnya juga ikut-ikutan membeli es batu.

Sebagaimana diuraikan oleh Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia” (2008), es batu di Hindia Belanda berasal dari Boston, Amerika Serikat. Es tersebut dibuat dengan membekukan air menggunakan garam dan amoniak. Setelah beku, es ini dicetak menjadi balok. Kemudian, saat tiba di Hindia Belanda, es balok ini diperkecil sesuai dengan fungsinya.

Dalam penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia (1 Maret 2022), harga es batu di Batavia adalah lima sen per pon. Harga ini dianggap wajar karena es batu memberikan kenyamanan bagi masyarakat.

Keberadaan es batu tidak hanya membantu menurunkan suhu tubuh, tetapi juga dapat digunakan untuk mengawetkan makanan. Sejak saat itu, impor es batu menjadi hal yang umum. Namun, karena harganya yang mahal, hanya orang kaya yang bisa menikmatinya.

Setelah pengetahuan tentang pembuatan es dan alat produksinya masuk ke Hindia Belanda, mulai ada pabrik-pabrik es yang bermunculan. Awalnya, pabrik es batu dimiliki oleh orang Eropa, namun kemudian orang-orang Tionghoa juga mulai memproduksi es batu sendiri.

Kemunculan pabrik es batu ini akhirnya menutup impor es batu. Sejak itu, es batu menjadi barang yang tidak bisa dipisahkan dari sajian makanan di saat cuaca panas.