Pria Memilih Mengajar di Korut Meskipun Harus Melepaskan Gaji Puluhan Juta

by -111 Views

Orang Singapura dan mantan konsultan Bain ingin membawa bisnis ke Korea Utara

Jakarta, CNBC Indonesia – Korea Utara (Korut) dianggap sebagai negara diktator. Semua diatur oleh pemimpin. Lalu, para penduduknya harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah-tengah perekonomian yang nyaris lumpuh akibat sanksi ekonomi.

Namun, tak semua orang percaya anggapan itu, salah satunya Geoffrey See. Tak cuma tidak percaya bahkan See ingin mengubah semua itu. See adalah warga Singapura dan mantan konsultan di perusahaan konsultasi manajemen Bain yang meninggalkan karier dengan gaji puluhan juta untuk mengembangkan potensi bisnis Korut.

Mengutip CNBC International, ia telah mengajar warga Korut materi dasar-dasar bisnis dan kewirausahaan selama hampir 10 tahun melalui organisasi non-profit Choson Exchange yang berbasis di Singapura.

“Saya rasa orang-orang cenderung melupakan ada 22 juta-25 juta jiwa warga Korut, yang sebagian besar hidup sederhana,” ujarnya.

Organisasi non-profit See mendukung minat wirausaha dan perseorangan terhadap bisnis di Korut dengan mengadakan program pelatihan, magang, dan bimbingan bisnis. Program tersebut tersedia bagi penduduk yang tinggal di dalam maupun luar Korut.

See yakin warga Korut berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka melalui kewirausahaan dan usaha bisnis dan seperti yang dilakukan negara-negara lain, mereka juga ingin agar bisa terhubung dengan perekonomian dunia. Indonesiasebagai negara tertutup dengan situasi bisnis yang sulit. Lalu mengapa See berpikir mengajari masyarakat Korut bisnis merupakan ide yang bagus?

“Dulu saya berpikir negara komunis dan penduduknya ini tidak mungkin tertarik menjalankan bisnis. [Ternyata] mereka memiliki aspirasi pribadi yang sangat kuat untuk membuktikan sesuatu. Jadi, saat saya meninggalkan Korea Utara, saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu mereka?”

See mendirikan organisasi non-profitnya, Choson Exchange, pada 2010 dan sejak saat itu ia sudah mendidik lebih dari 1.300 penduduk Korea Utara. Ia menceritakan bahwa salah satu kelas pelatihannya dihadiri 20 murid yang sangat pemalu.

“Mereka sangat gugup. Mereka membaca semua bahan pelajaran yang kami berikan, namun tidak berani mengajukan pertanyaan,” kata See.

Karena program yang didirikan See tidak mencari keuntungan dan tidak memiliki hubungan dengan pemerintah Korut, See dan para relawan mencoba menghindari pembahasan soal kapitalisme.

“Kami tidak mengajarkan kapitalisme. Kami menganggap program ini sebagai pelatihan bisnis dan kewirausahaan. Kebanyakan masyarakat Korut percaya hal inilah yang dapat diterapkan di dalam sistem negaranya,” ujarnya.

Walaupun pemerintah Korut membatasi penggunaan internet penduduknya, See menyadari penggunaan ponsel rakitan dalam negeri di sana sudah semakin menjamur.

“Kami melihat aplikasi pengiriman makanan hadir di ponsel buatan domestik. Kami tidak tahu seberapa sering penggunaannya, namun jelas para warga bereksperimen dengan hal-hal baru,” ujarnya.

Hubungan dagang yang erat dengan China membuat warga Korut terekspos perusahaan-perusahaan teknologi China dan mulai tertarik dengan e-commerce.

“Mereka sering datang kembali [ke kelas] dan membawa contoh-contoh yang mereka lihat, seperti WeChat atau Taobao, dan berkata kami tertarik mencari tahu apakah kami bisa membuat hal serupa di Korut,” kata See.

[Gambas:Video CNBC]

(mfa/sef)