Pembahasan program makan siang gratis mencuat. Ini atas pernyataan calon presiden (capres) Prabowo Subianto menjadikannya sebagai program strategis.
Tentu saja program ini menuai pro dan kontra. Namun terlepas dari itu, ada cerita menarik bagaimana program makan siang gratis ini dikenal pertama kali di dunia.
Apa itu?
Secara historis, program makan siang gratis bermula di Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, program ini bukan bermula dari kebijakan pemerintah, melainkan oleh pihak swasta.
Mengejutkan karena pencetusnya adalah tempat bar atau klub minuman beralkohol. Orang yang pertama kali membuat gagasan makan siang gratis adalah Joseph Chesterfield Mackin.
Pada 1871, Mackin membuat gagasan itu bukan karena kelebihan uang atau dermawan, tetapi sebagai upaya agar minuman keras. Itu agar hidangan utama di barnya, bisa laku terjual.
Intinya, Mackin ingin orang-orang membeli minuman keras dengan iming-iming diberi makan siang gratis. Dia percaya, cara ini bisa membuat usahanya cuan karena sebelumnya selalu rugi.
Sebagaimana dipaparkan “The Saloon: Public Drinking in Chicago and Boston, 1880-1920” (1983), Mackin berupaya memberi makan siang gratis, yakni tiram panas, kepada setiap pengunjung yang membeli satu minuman keras. Terkadang, tak cuma tiram saja, tetapi juga potongan daging, telur rebus dan keju.
Tak disangka, cara ini kemudian membuat penjualan minuman keras meningkat sehingga Mackin bisa untung. Langkah ini lantas diadopsi oleh banyak bar-bar lain.
Sekitar tahun 1870-an, mengutip arsip “New York Times”, mulai banyak bar menyediakan makan siang gratis kepada pengunjung. Jadi untuk bisa mencicipi makan siang gratis, para pengunjung harus membeli minuman keras terlebih dahulu.
Menariknya, minuman keras ini bukan hanya untuk melepaskan dahaga. Tetapi juga sebagai penawar atas rasa makanan yang kurang enak.
Dalam “Drinking in America: A History” (1982) dijelaskan, biasanya pemilik bar dengan sengaja menyajikan makanan gratis tersebut dengan kurang garam. Tujuannya agar pengunjung bisa menebus kekurangan yang ada dengan membeli minuman keras lebih banyak.
Tentu saja, semua ini menambah pundi-pundi pemilik bar. Dan, begitu pula masyarakat bisa kenyang.
Meski begitu, di sisi lain strategi makan siang gratis menimbulkan polemik. Pada 1874, kelompok Pertarakan menyebut program ini sama saja membuka pintu kematian. Sebab, orang-orang jadi lebih sering mengonsumsi minuman keras yang berbahaya bagi kesehatan.
Selain itu, program ini juga membuat jumlah pengangguran dan tunawisma di banyak kota meningkat. Alhasil, pada akhir abad ke-19, mulai banyak kota yang melarang program makan siang gratis di bar.
Meski ada pelarangan di bar, program makan siang gratis rupaya diadopsi di sekolah-sekolah. Dari sanalah hingga kini, program itu terus menerus dilakukan di AS.
Mengutip “Time”, Philadelphia dan Boston menjadi dua kota pertama di AS yang menerapkan makan siang gratis di sekolah sejak penghujung abad ke-19. Penggagasnya adalah NGO, Women’s Educational and Industrial Union dan the Starr Center Association.
Sejak diterapkan, makan siang gratis berdampak positif. “Time” menyebut program ini tak hanya terbukti berdampak pada pertumbuhan anak, tetapi juga sukses mengajarkan anak kebiasaan makan yang sehat dan bijak.
Atas dasar inilah, seiring mulai diterapkan wajib belajar, program makan siang gratis meluas usai pemerintah AS memegang kendali penuh operasional. Pada 1941, pemerintah mewajibkan seluruh sekolah menyediakan makan siang gratis.
Sebagai realisasi, pemerintah membeli kelebihan hasil panen petani untuk mencegah kerugian dan memperkerjakan perempuan untuk memasak. Cara ini terbukti efektif bagi petani, perempuan, dan anak-anak.
Program ini lantas disahkan lebih lanjut di National School Lunch Act 1946.
Lewat aturan tersebut, program makan siang gratis terus berlanjut sampai sekarang. Sekalipun di sisi lain juga menimbulkan polemik, berupa perubahan mutu gizi, dampak obesitas, dan persoalan keterbatasan anggaran.
Sebenarnya, dalam “Georgia Encyclopedia” tertulis pula bagaimana makan siang gratis pertama kali muncul di Eropa pada akhir abad ke-19. Inggris dan Jerman jadi dua negara pertama yang melakukannya.