Evolution of Survey Institutions in Indonesia: From Academic to Business Focus

by -271 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Menjelang pelaksanaan pemilihan umum, banyak lembaga survei memublikasikan hasil surveinya kepada publik. Biasanya, hasil survei menjadi acuan masyarakat untuk mengetahui tingkat keterpilihan tiap kandidat di ajang kontestasi pemilu.

Terkadang, penerapan metodologi yang tepat membuat hasil survei mampu mencapai tingkat akurasi tinggi mirip dengan hasil perhitungan resmi oleh penyelenggara pemilu. Namun, sering kali hasil survei juga menuai kontroversi terutama yang dirilis oleh lembaga-lembaga survei yang dianggap tak kredibel.

Terlepas dari itu, ada cerita menarik ihwal lembaga survei politik di Indonesia yang memiliki perbedaan antara dahulu dan sekarang.
Dari akademis jadi bisnis
Pemilu 2004 tak hanya jadi pesta demokrasi pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden, tetapi jadi titik balik yang mengubah pandangan elit tentang survei politik.

Sistem one man one vote jelas mengubah paradigma pemilu dari semula diatur para elit kini membuat suara rakyat benar-benar dipertimbangkan.

Indonesianis Marcus Mietzner dalam risetnya berjudul “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” (BRILL, 2009) menjelaskan, masa kampanye presiden 2004 memunculkan banyak lembaga survei yang mengubah lanskap politik Indonesia.

Perhitungan-perhitungan survei politik kemudian turut meramaikan ihwal sosok pemimpin masa depan Indonesia. Salah satu yang melakukan survei politik adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berdiri pada Agustus 2003.

Dua bulan sebelum pemilu, mengutip pewartaan Detik.com (11 Mei 2004), LSI merilis hasil survei nasional yang menyebut Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memenangi pemilu dengan perolehan 40% suara. Perhitungan LSI pada akhirnya memang terbukti akurat: SBY menang putaran pertama, meski persentase akhirnya berbeda dengan hitung resmi KPU.

Menariknya, masa kampanye 2004 juga membuat lembaga survei mengubah arah pendiriannya.

Sebelum pemilu 2004, kata Mietzner, lembaga survei sebagian besar didorong oleh keingintahuan akademis dan kepentingan yang kuat untuk mencegah manipulasi pada pemilu pertama pasca rezim otoriter.

“Oleh karena itu, sponsor utama lembaga survei saat itu bukanlah partai atau kandidat, melainkan donor asing seperti USAID dan lembaga serupa yang ingin memajukan demokratisasi di Indonesia,” tulis Mietzner.

Namun, di pemilu 2004, lembaga survei tak hanya memaparkan hasil surveinya saja, tetapi juga memberi nasehat tentang cara calon eksekutif dan legislatif bisa menang pemilu. Sejak saat itu, kata Mieztner lembaga survei terbagi jadi dua kubu.

Pertama, kubu akademis yang meyakini bahwa survei harus memenuhi kebutuhan masyarakat soal informasi dan transparansi. Kubu ini selalu terbuka ke politisi soal informasi, tetapi tidak menolak pembayaran.

Hanya saja, kata Mieztner, mereka menolak untuk memberi nasihat kepada para aktor politik tentang cara menjalankan kampanye, menciptakan citra tertentu, atau merancang platform untuk membantu mengalahkan lawan.

Kedua, kubu komersil atau bisnis. Sesuai namanya, lembaga survei yang jadi bagian ini memiliki misi membantu politisi memenangkan pemilu. Tentu dengan mematok tarif kepada para politisi yang bekerjasama. Mereka tidak hanya melakukan survei, tetapi juga mengatur jalannya kampanye. Mulai dari membangun citra dan menyebarluaskan janji-janji lewat berbagai media.

Pecahnya lembaga survei menjadi dua kubu, khususnya di kubu bisnis, lantas menimbulkan persoalan tersendiri. Menurut Mieztner, persoalan tersebut bisa berupa manipulasi, komersialisasi, dan potensi keberpihakan. Belum lagi, hal ini juga membuat biaya kampanye bengkak.

Meski begitu, di sisi lain, menjamurnya lembaga survei di Indonesia memiliki arti penting bagi perkembangan demokrasi.

“Adanya aktivitas yang terbuka, kompetitif, dan tanpa sensor oleh lembaga survei merupakan indikasi kuat dari dinamika demokrasi. […] Yang lebih penting, survei opini dan quick count telah meningkatkan kredibilitas pemilu yang berkontribusi terhadap stabilitas demokrasi di Indonesia,” tulis peneliti dari Australia National University itu.

Seiring waktu lembaga survei menambah warna tersendiri di tiap pemilu. Sekarang, ada 40 lembaga survei yang terdaftar di KPU untuk pemilu 2024.

[Gambas:Video CNBC]
(mfa/mfa)