BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

by -208 Views

Sikap dan tindakan Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya dalam pertempuran Puputan Margarana tahun 1946 telah menetapkan kriteria kepemimpinan teladan bagi generasi TNI selanjutnya: Memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa. I Gusti Ngurah Rai memiliki semangat pejuang sejati dan lebih memilih mati daripada menyerah kepada musuh. Perang habis-habisan (tradisi puputan) yang ia ciptakan membangkitkan semangat bertempur pasukannya dan melawan Belanda hingga titik kelelahan. I Gusti Ngurah Rai bertempur di medan perang hingga napas terakhirnya.

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatif sendiri untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat dari Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut sebagai Sunda Kecil.

Ia kemudian kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang di akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti Fasis (GAF). Pada bulan September 1946, Belanda mulai menyerang secara agresif. Dan pada tanggal 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengepung pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia beserta pasukannya akan diampuni. Tawaran itu datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali. JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai.

Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum Jepang tiba. I Gusti Ngurah Rai pernah bergabung dengan Prajoda sebelum pecahnya Perang Pasifik.

Suatu ketika, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa ketika Jepang mulai menyerang. Namun, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran itu datang dari Konig, mantan atasanhnya. Untuk menjaga moral pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat Konig. Jawaban I Gusti Ngurah Rai langsung ditujukan kepada atasannya Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini mengajukan jawaban sebagai berikut: Keamanan Bali merupakan tanggung jawab kami. Sejak pendaratan pasukan Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati keinginan rakyat yang telah menyatakan kemerdekaan mereka. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukan tempat bagi perbincangan diplomatik. Dan saya tidak dalam posisi untuk berunding. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau saya bisa menjanjikan kepada Anda bahwa kami akan terus berjuang hingga tujuan kami terpenuhi. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran berdarah antara pasukan Anda dan kami.”

Demikianlah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai. Demikianlah ketegasan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi kolonialis Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakkehendakannya untuk berunding dalam pengabdian untuk melawan penjajah. Ia menjawab tawaran menyerah dari Belanda dengan pekikan “Puputan, Puputan”, yang berarti habis-habisan. Maka dari itu perang ini disebut sebagai Pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang habis-habisan”. Pada tanggal 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (pada saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjataannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pesawat pengebom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan Pangdam / Panglima Wilayah saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa kenal lelah.

Pertempuran ganas dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan dari pihak Indonesia di siang hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran itu telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya telah memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan inspiratif bagi generasi TNI selanjutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwa.

Source link