Jakarta, CNBC Indonesia – Sudah sejak lama kuliner Indonesia berhasil memanjakan lidah orang-orang Eropa. Kisah Saiman yang menjual gado-gado, pecel, sayur lodeh, sambal goreng, dan masakan Jawa lain pada tahun 1919, salah satu buktinya.
Saiman adalah pria Betawi yang pergi ke Belanda dibawa oleh majikan untuk menjadi pembantu. Sesampainya di Belanda, Saiman bertemu dengan istrinya, Soedjirah, yang sudah lebih dulu tiba di Belanda. Singkat cerita, kehidupan di Belanda rupanya membuat pasangan suami istri itu betah. Saat diajak oleh majikan pulang kampung ke Jawa, keduanya menolak dan memilih tinggal di Belanda.
Keduanya memulai hidup baru dari nol dengan bekerja di Restoran Twed. Fadly Rahman dalam Rasa Tanah Air (2023) menceritakan, keduanya bekerja sebagai juru masak dan pelayan.
Selama bekerja, mereka menyerap banyak ilmu dan keterampilan. Bermodalkan hal ini dan uang tabungan yang dipunya, mereka lantas memulai langkah berani: menjalankan bisnis restoran sendiri.
“Pada 1 November 1922, mereka akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah hotel dan restoran makanan Jawa,” tulis Fadly Rahman.
Restoran tersebut dinamai “Roemah Senengati” yang berdiri di Den Haag pada 1 November 1922. Dalam catatan Fadly Rahman, restoran tersebut dipimpin oleh Saiman. Sedangkan untuk juru masak dikendalikan penuh oleh Soedjirah. Pelayannya adalah pelajar Melayu bernama Sarpin.
Sejak awal berdiri, restoran itu konsisten menjual makanan khas Indonesia, antara lain gado-gado, pecel, sayur lodeh, sate, sambal goreng, ketupat, lontong, dan aneka jenis kue. Tentu dijual juga nasi dan aneka macam tumis sayur. Semuanya dijual dengan harga mulai dari 1,50 gulden.
Menurut Fadly Rahman, restoran tersebut dalam perjalanannya memiliki banyak pelanggan. Mereka berasal dari lintas profesi, usia, agama, dan negara.
“Roemah Senengati yang menyajikan hidangan tradisional Hindia dengan harga yang terbilang terjangkau menjadikan restoran ini tempat populer untuk berkumpul di kalangan pekerja, pelajar, dan juga muslim dari Hindia. Berbagai acara seperti selamatan dan perayaan Idul Fitri juga kerap dilakukan di sana,” tulis sejarawan tersebut.
Selain karena murah, keberhasilan ini juga diperoleh karena Saiman menjalankan restoran dengan kualitas Eropa. Maksudnya, meski didirikan dan dikelola semuanya oleh orang dari negeri jajahan, Roemah Senengati berjalan dengan standar manajemen ala Eropa, mulai dari administrasi, pengelolaan keuangan, hingga jenjang karir pegawai.
Selain itu, lokasi restoran tersebut juga membawa keuntungan tersendiri. Pasalnya, Den Haag adalah kota yang dihuni oleh orang-orang yang pernah bekerja atau berkunjung di Indonesia.
Jadi, untuk mengatasi kerinduan dan adaptasi perubahan gaya hidup, mereka masih bisa mencicipi makanan-makanan khas Indonesia. Salah satunya dengan berkunjung ke Roemah Senengati, yang sering juga disebut Waroeng Djawa.
Beranjak dari faktor-faktor tersebut, Roemah Senengati sukses menjadi restoran terkenal di Den Haag. Kepopuleran ini akhirnya juga berhasil mengangkat nama Saiman, sebagai pengusaha restoran ternama yang dulu berprofesi sebagai pembantu.
Sayang, restoran tersebut kini tinggal sejarah. Sebab, setelah Saiman wafat tak ada lagi yang meneruskan Roemah Senengati.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
“Ritual” Rahasia Taylor Swift Punya Rp17 T
(mfa/sef)