Rahasia Orang Kaya: Fenomena Tuyul di Indonesia Terbongkar oleh Ilmuwan

by -80 Views

Hantu-hantu Nusantara menarik perhatian banyak orang, salah satunya antropolog Amerika Serikat Clifford Geertz. Pada 1952, dia datang jauh-jauh dari kampusnya Harvard University untuk melakukan penelitian mengenai kebudayaan Jawa, yang salah satu membahas tuyul.

Kala itu, dia melakukan riset dan ‘menyatu’ dengan kehidupan masyarakat untuk mengungkap deskripsi lebih lanjut mengenai tuyul. Di lokasi risetnya, yakni Mojokuto, Kediri, Geertz menemukan 3 orang yang memelihara tuyul untuk memupuk kekayaan. Mereka adalah tukang jagal, perempuan pedagang tekstil, dan saudagar yang bergelar Haji.

Ketiganya menjalin kerjasama dengan mendatangi beberapa tempat keramat umat Hindu.

“[Tempat itu adalah] Borobudur di Barat, Penataran di Selatan, Bongkeng di Timur, dan makam Sunan Giri di Gresik Utara,” tulis Geertz dalam riset yang kelak dibukukan berjudul Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (1976).

Saat mendatangi tempat-tempat itu, kata Geertz, mereka melakukan perjanjian dengan roh. Jika roh itu memberi tuyul, maka sebagai pengganti mereka bakal membunuh orang sebagai persembahan ke roh itu.

Dalam perjalanannya, para pemelihara tuyul itu benar-benar melakukan perjanjian. Ambil contoh seorang saudagar bergelar Haji yang tinggal di sebelah timur Kota. Dia diketahui memperoleh tuyul lewat perjanjian dengan roh.

Sebagai timbal balik, setiap tahun dia harus membunuh empat orang dari beragam profesi dan umur agar perjanjian dengan tuyul tak sirna. Tentu jika perjanjian itu usai, orang itu sendiri yang bakal rugi.

“Dia mencari korban kemana-mana, bahkan mencarinya hingga ke Mekkah,” tulis Geertz.

Beranjak dari pengamatan tiga orang tersebut, Geertz menyebut beberapa ciri orang pemelihara tuyul, antara lain:
1. Kaya raya atau menjadi kaya secara mendadak
2. Kikir
3. Sering menggunakan pakaian bekas
4. Sering mandi di sungai bersama para kuli miskin
5. Selalu menyantap makanan orang miskin, seperti jagung dan singkong, ketimbang nasi.

Kelima ciri tersebut tentu saja untuk mengelabui orang-orang supaya dianggap tidak punya uang, padahal di rumahnya selalu penuh dengan emas batangan.

Selain itu dari segi sosial, para pemelihara tuyul juga sering melakukan penyimpangan. Mereka sering bicara keras dan agresif. Di sisi lain, mereka kurang sopan santun, berpakaian ceroboh, dan selalu punya kebiasaan tak lazim dalam membagi pemikirannya. Namun, seseorang pemelihara tuyul akan mengalami kesulitan saat meninggal. Dia akan mengalami kematian yang lambat dan sulit.

Lalu, sebelum meninggal napasnya menjadi pendek disertai sakit dan demam tinggi berkepanjangan. Intinya, dalam proses menuju meninggal, semua dilalui dengan sangat lambat dan berliku-liku.

Meski begitu, kata Geertz, proses kematian seperti itu merupakan “harga yang cukup kecil untuk dibayar”. Sebab, semasa hidup pemelihara tuyul sudah puas dengan kekayaan yang diperoleh dari hasil curian tersebut.

Selain tuyul, Geertz juga mengamati tiga hantu lain dalam mahakarya The Religion of Java, antara lain memedi, lelembut, dan demit. Kata Geertz, seluruh makhluk halus dalam pengamatannya merupakan serangkaian jawaban atas pertanyaan yang muncul dari imajinasi.

“Dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang ditransformasikan secara simbolik,”ungkapnya. Hal ini bisa terjadi karena penjelasan makhluk halus dapat memberikan makna lebih luas dan lebih umum daripada sekedar penjelasan yang biasa saja. Pada titik ini, “terlukis kemenangan kebudayaan atas alam dan keunggulan manusia atas bukan manusia.” Namun, bila seorang makin beradab dalam pola jawa, kecil kemungkinan orang tersebut tak akan mengaitkannya dengan makhluk halus.