Warga China Menghabiskan 4 Dekade Membangun Kerajaan Bisnis di Indonesia, Namun Akhirnya Bangkrut!

by -75 Views

Banyak orang mencari keberuntungan dalam bisnis di Indonesia. Salah satunya adalah Kwik Djoen Eng, seorang warga China. Di Indonesia (dulu Hindia Belanda), Kwik berhasil membangun kerajaan bisnis dari perdagangan gula selama 40 tahun. Kerajaan bisnisnya berkembang di Indonesia dan kemudian meluas ke kawasan Asia, bahkan pernah masuk dalam lima perusahaan terbesar di dunia.

Julukan ‘Raja Gula’ melekat padanya karena kesuksesannya sebagai salah satu pengusaha terkaya di Indonesia dan dunia. Namun, kerajaan bisnisnya mengalami kebangkrutan yang tragis akibat terperangkap dalam utang.

Kisahnya dimulai dengan Kwik Djoen Eng, seorang pria yang lahir pada tahun 1860 di Fujian, China. Sejak kecil, Kwik telah mengenal dunia bisnis karena keluarganya hidup dalam kemiskinan. Bagi Kwik, pasar adalah tempat kedua setelah rumahnya.

Sebagai seorang pedagang, Kwik akhirnya sampai ke Pulau Jawa di selatan China pada usia 17 tahun. Ia bekerja bersama pamannya, Kwik Hoo Tong, dan berkeliling Jawa Tengah untuk belajar tentang karakter orang Belanda dan pribumi dalam berdagang.

Pengalaman ini mendorong Kwik untuk memulai usaha sendiri. Awalnya, bisnisnya hanya berdagang produk hasil bumi, namun perlahan berkembang hingga mulai mengimpor teh ke Taiwan. Dalam buku “Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java” karya Alexander Claver, disebutkan bahwa bisnis pertama Kwik sukses membuatnya memiliki tabungan yang besar dalam waktu kurang dari 10 tahun.

Dengan modal tabungan tersebut, Kwik menjadi salah satu pendiri perusahaan Kwik Hoo Tong Handelmaatschappij (KHT) pada 17 Juli 1894, bersama dengan empat saudara kandungnya. KHT berbasis di Yogyakarta dan Solo, dan berdagang dalam berbagai hasil bumi seperti gula, teh, beras, minyak kelapa, dan arang.

Keahlian Kwik dalam bisnis membuatnya dipercaya sebagai pimpinan perusahaan dan memiliki kekuatan besar dalam mengatur jalannya bisnis. Dia berhasil membujuk Bank Sentral Hindia Belanda, de Javasche Bank (DJB), untuk memberikan pinjaman besar. Selain itu, Kwik juga berhasil menarik perhatian Bank of Taiwan, Bank Jepang, dan Standard Chartered dari Inggris sebagai pemodal.

Dalam perjalanan waktu, bisnis inti KHT hanya fokus pada perdagangan gula dan beras, dengan banyak pabrik gula di Jawa Tengah. Kesuksesan KHT membawa perusahaan ini masuk ke dalam lima perusahaan terbesar di dunia pada tahun 1920, dengan keuntungan total mencapai 14 juta gulden.

Selain bisnis utama, Kwik juga membangun kerajaan bisnis di Surabaya, Yogyakarta, China, dan Jepang. Dia juga aktif berinvestasi di banyak perusahaan dan bank, sehingga dianggap sebagai investor terkemuka pada masanya. Kekayaannya diperkirakan mencapai 50 juta gulden, dengan memiliki istana di beberapa wilayah.

Namun, keberhasilan ini tidak bertahan lama. Pada 1925, harga gula dunia turun tajam, menyebabkan KHT mengalami kerugian yang besar. Utang menumpuk dan pembayaran terhenti. Pada akhirnya, utang pajak mencapai 9 juta gulden, yang mulai membawa KHT ke jurang kebangkrutan.

Ancaman kebangkrutan semakin nyata pada 1934-1935, ketika seluruh bank menuntut pembayaran utang. Meskipun Kwik berusaha mengajukan pinjaman lain untuk menutupi utang, namun usahanya gagal. Pada akhirnya, KHT dinyatakan bangkrut pada akhir Januari 1935 setelah 40 tahun membangun kerajaan bisnisnya. DJB mengambil alih aset KHT dan Kwik, namun hal itu tidak mampu menghapus seluruh utang yang dimiliki.