Jakarta, CNBC Indonesia – Orang Indonesia menjadi menteri di kabinet Belanda bukanlah sekadar fiksi belaka. Cerita ini benar-benar terjadi pada Ario Soejono. Dia berhasil memecahkan rekor sebagai orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang diangkat sebagai menteri oleh Perdana Menteri Belanda.
Kisahnya mirip dengan Rishi Sunak, keturunan India yang berhasil menjadi pemimpin di Inggris. Bagaimana ceritanya?
Ario Soejono lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal 31 Maret 1886 dari keluarga yang sangat berada. Ayahnya adalah Bupati Tulungagung, sehingga karena status bangsawan ini, dia beruntung bisa mendapatkan pendidikan tinggi.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Soejono merintis karirnya di dunia pemerintahan. Dia memulai karirnya sebagai asisten wedana pada tahun 1911. Karirnya terus berkembang hingga dia menjadi Bupati Pasuruan tahun 1915-1927. Saat menjabat bupati, usianya masih sangat muda, yaitu 30 tahun. Di waktu yang sama, dia juga menjadi anggota Volksraad (DPR zaman kolonial) periode 1920-1930.
Keberhasilan karir membuat Soejono menjadi andalan pemerintah kolonial. Dia sering pergi bolak-balik antara Belanda dan Jawa untuk mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Kedekatannya dengan pemerintah kolonial akhirnya mengubah jalan hidup Soejono selamanya.
Momen yang tidak bisa dilupakan oleh Soejono mungkin terjadi pada tahun 1942. Ketika itu, Hindia Belanda terancam bubar akibat serangan besar-besaran dari Jepang. Situasi ini membuat semua pejabat panik, termasuk Soejono dan keluarganya.
Menurut Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008), Soejono melarikan diri ke Australia bersama van Mook dan Loekman Djajadiningrat. Dari Australia, dia kemudian pergi ke London, tempat pemerintahan Belanda tinggal karena Amsterdam diduduki oleh Nazi Jerman.
Di London, pada tanggal 6 Juni 1942, nasib Soejono berubah. Perdana Menteri Pieter Sjoerd Gerbrandy secara resmi mengangkat Soejono sebagai menteri.
“Dalam momen bersejarah ini, untuk pertama kalinya seorang putra bangsa Indonesia menjadi bagian dari pemerintahan Belanda,” kata PM Gerbrandy dalam pidato kenegaraan yang disambut dengan tepuk tangan meriah.
Pengangkatan ini, menurut Harry A. Poeze, dimaksudkan untuk menekankan ikatan nasib antara Belanda dan Indonesia. Namun, posisi menteri tanpa departemen yang dipegang Soejono sebenarnya hanya simbol belaka untuk memasukkan orang Indonesia ke dalam koalisi pemerintahan.
Meskipun demikian, posisi menteri tidak membuat Soejono patuh terhadap Belanda. Dia menggunakan posisinya yang penting itu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selama menjabat menteri, Soejono menggunakan suaranya untuk memberi masukan tentang tata negara Indonesia setelah perang berakhir. Kala itu, kemerdekaan Indonesia setelah perang dunia II dipandang penting oleh banyak orang.
“Masyarakat Indonesia ingin memutuskan hubungan dengan Belanda,” ungkap Harry A. Poeze.
Menteri Tanah Jajahan, van Mook, juga memiliki pandangan yang serupa. Dia mengusulkan kesetaraan antara negeri jajahan, termasuk Indonesia, dengan Belanda. Namun, pandangan itu ditolak. Soejono ingin Belanda mempertimbangkan hak-hak warga Indonesia serta kemerdekaan.
“Menurut Soejono, Indonesia harus merdeka sepenuhnya,” kata Martin Bossenbroek dalam Pembalasan Dendam Diponegoro (2023).
Namun, upaya tersebut tidak diindahkan oleh PM Gerbrandy dan anggota menteri lainnya. Mereka menganggap tuntutan Soejono terlalu jauh. Soejono terus mengulangi tuntutan tersebut 2-3 kali, namun semuanya diabaikan.
Sadar akan situasinya yang sulit, Soejono tidak mau mundur. Dia tetap mempertahankan posisinya untuk Indonesia. Namun, upaya ini tidak berlangsung lama karena dia terasing di London. Pengasingan ini berakhir dengan kematian Ario Soejono pada tanggal 5 Januari 1943. Setelah Soejono, kita sekarang tahu bahwa tidak ada lagi warga negara Indonesia yang menjadi pejabat tinggi di Belanda atau di negara asing lainnya.