Jakarta, CNBC Indonesia – Jika diberikan pilihan tentang asal-usul, setiap orang pasti ingin lahir dari keluarga kaya. Dengan menjadi kaya, hidup sehari-hari diyakini akan menjadi lebih baik. Berbagai keistimewaan akan didapatkan.
Namun, sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh Raden Mas Kudiarmadji alias Suryomentaram. Dia adalah anak ke-55 dari orang terkaya di Jawa dan juga orang nomor satu di Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1921).
Meskipun lahir dari keluarga kaya, Suryomentaram memilih untuk hidup dalam kemiskinan. Dia meninggalkan kemewahan di istana dan menjadi seorang petani dan kuli biasa.
Hamengkubuwana VII mendapatkan kekayaan dari bisnis gula. Dia memiliki banyak pabrik gula yang dikelola oleh anak buahnya. Selain itu, sebagai penguasa absolut Jawa, dia juga mendapat upeti 200 ribu gulden dari setiap pabrik gula swasta dan penyewaan tanah oleh rakyat.
Suryomentaram tidak pernah merasa kesulitan finansial selama berada di dalam keraton. Namun, semuanya berubah ketika dia melihat kesenjangan sosial di luar keraton saat berpergian ke Solo dengan kereta api. Dia melihat petani yang hidupnya sengsara meskipun bekerja keras tanpa mendapatkan hasil yang layak.
Hal ini membuat Suryomentaram berkeinginan untuk melepaskan diri dari kehidupan istana dan hidup sebagai rakyat biasa. Meskipun permintaannya ditolak oleh sang ayah, dia akhirnya kabur dari istana tanpa perbekalan dan mengubah identitasnya menjadi Natadangsa.
Setelah kematian Hamengkubuwana VII, Suryomentaram mengambil keputusan untuk keluar dari keraton. Dia menjual seluruh harta bendanya dan membagikan uang hasil penjualan kepada abdi dalem keraton. Dia kemudian membeli tanah di Salatiga untuk tempat tinggalnya.
Suryomentaram hidup sederhana sebagai petani dan rakyat biasa di tempat tinggal barunya. Dia melahirkan berbagai ilmu spiritualitas, termasuk kawruh begja atau ilmu kebahagiaan. Dia menekankan pentingnya hidup sederhana dan tidak terlalu mengejar kesenangan dunia.
Nasehat-nasehat dari Suryomentaram membuat namanya semakin dikenal. Bahkan, Presiden Soekarno pernah meminta wejangan kepadanya dalam urusan negara. Meskipun telah meninggal pada tahun 1962, pemikiran Suryomentaram tetap dihormati dan dilestarikan hingga sekarang.