Jakarta, CNBC Indonesia – Berbagai aliran kepercayaan sepakat bahwa melibatkan Tuhan dalam beraktivitas bisa membawa keberkahan. Salah satu buktinya terjadi pada diri pengusaha Indonesia, Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto.
Berkat melibatkan Tuhan dan berbagai aspek spiritualitas lain, Sudhamek sukses memiliki harta US$ 1 miliar atau Rp 16 Triliun. Ia bahkan menduduki peringkat ke-46 orang terkaya Indonesia (Forbes, 2022).
Bagaimana kisahnya?
Perlu diketahui, Sudhamek merupakan bos Garudafood. Perusahaan itu memproduksi makanan dan minuman populer di Indonesia, seperti Kacang Garuda, Okky Jelly Drink, dan coklat Chocolatos.
Sejarah perusahaan dapat ditarik mundur ke tahun 1958. Saat itu, ayah Sudhamek, Darmo Putra, mendirikan PT Tudung di Pati yang memproduksi tepung tapioka. Sudhamek sendiri baru mengurusi perusahaan ayahnya itu pada 1990-an bersamaan dengan kelahiran produk Kacang Garuda.
Sudhamek awalnya tak mementingkan aspek spiritualitas saat bekerja dan berbisnis. Dalam karya yang ditulisnya sendiri berjudul Mindfulness-Based Business: Berbisnis dengan Hati (2020), dia mengaku percaya kalau berbisnis hanya mencari keuntungan, sehingga tidak perlu melibatkan moralitas, etik dan spiritual. Dia percaya atas hal ini sebab dirinya dari awal tumbuh di lingkungan yang turut mempercayai hal tersebut.
“Bisnis seakan hanya mencari keuntungan belaka di dunia. Sementara spiritualitas cuma berkutat dengan urusan keselamatan surgawi,” katanya (hlm.5)
Akan tetapi, krisis ekonomi 1997-1998 berhasil membuka matanya bahwa kepercayaan tersebut salah. Saat itu dia melihat banyak perusahaan besar di Indonesia bangkrut begitu saja dalam waktu sekejap. Semua itu lantas hanya meninggalkan kepedihan belaka.
“Kejadian tersebut membuat kami merenung sekaligus meyakini ada sesuatu yang salah dari fenomena yang berlangsung begitu cepat itu,” ungkap Sudhamek.
Perenungan itu lantas mengarahkannya pada kepercayaan baru nan penting bahwa yang membuat perusahaan tetap bertahan, yakni aspek spiritual. Di titik inilah, dia mulai berpandangan bahwa bisnis dan spiritual harus berjalan berdampingan.
Baginya, persaingan ketat sistem kapitalisme, saat perusahaan saling bersaing yang berujung pada kebangkrutan, terjadi karena tidak memasukkan nilai-nilai spiritual. Atas dasar ini, pria kelahiran Rembang itu berpandangan kapitalisme harus mengambil nilai-nilai spiritual agar bisa survive dan sustain (hlm.8).
Saat mengurus Garudafood, misalnya, sejak awal dia menjadikan aspek spiritual sebagai fondasi bagi keberlanjutan bisnis. Etika, moral, dan spiritual harus menjadi satu kesatuan. Bahkan, ketiganya harus menjadi “pemandu dalam aktivitas operasional perusahaan.”
Sebagai contoh, dia mengaku selalu menjalankan prinsip bahwa berbisnis bukan sekedar menggapai keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya. Pebisnis harus juga mencermati proses dan melibatkan dimensi-dimensi etika dan moral lain. Atau dia juga selalu menjalankan aktivitas filantropi agar bisa menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Tak heran, pria kelahiran 20 Maret 1956 itu menjadikan kepercayaan tersebut sebagai landasan perusahaan, yakni “kesuksesan lahir dari kejujuran, keuletan, dan ketekunan yang diiringi doa.” Pada akhirnya, berkat melibatkan Tuhan, doa, dan aspek spiritualitas lainnya perjalanan bisnis Sudhamek cukup sukses.
Berbagai produk perusahaan, sukses menguasai pasar dan menjadi kesukaan masyarakat. Dia pun menjadi salah satu orang terkaya berharta Rp14 Triliun pada 2022 lalu.
(mfa/sef)