Kaisar China Diusir dari Istana, Dipenjara & Menjadi Tukang Kebun oleh Pemerintah

by -233 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Bayangkanlah betapa nikmatnya menjadi orang nomor satu di negara monarki absolut. Orang tersebut pasti akan dihormati, hidup nyaman di istana, dan tentu saja memiliki kekayaan yang melimpah.

Setidaknya itulah yang ada dalam pikiran keturunan Kaisar China. Salah satunya adalah Puyi, Kaisar China ke-12 dari Dinasti Qing.

Sejak diangkat sebagai penguasa pada usia 2 tahun, orang-orang dapat membayangkan betapa nikmatnya kehidupan Puyi selama hidupnya. Namun, kehidupan Puyi ternyata tidak seindah pendahulunya.

Di tengah perjalanan, Puyi harus terusir dari istana dan mengakhiri hidupnya dengan tragis. Dia harus hidup sebagai tahanan dan tukang kebun.

Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Puyi memang menjadi kaisar pada usia yang sangat muda, 2 tahun. Namun, dia memerintah pada saat yang tidak tepat.

Pada tahun 1908, suara nasionalisme dan reformis yang anti-kekaisaran mulai berkumandang di masyarakat. Posisi Puyi sedikit terancam.

Namun, sebagai seorang anak kecil, dia tidak menyadari kondisi tersebut. Dia terus hidup sebagai seorang kaisar dan menikmati segala keistimewaan.

Kekayaan dan penghormatan. Semua itu berlangsung sampai dia dewasa dan membuatnya menjadi seorang anak yang manja.

Pada tahun 1911, saat usia Puyi mencapai 5 tahun, gelombang reformasi berhasil menghancurkan kekaisaran China. Pada titik itu, kekuasaan Puyi berakhir, dan sekaligus menandai akhir dari pemerintahan monarki China yang telah berusia ribuan tahun.

Namun, Puyi belum diusir dari istana. Kelompok reformis masih memperbolehkannya tinggal di istana bersama anggota keluarga lain.

Akibatnya, pria yang lahir pada tahun 1906 itu masih hidup mewah. Bahkan, dia bertindak sekehendak hatinya seolah-olah masih menjadi seorang raja.

Dalam buku “From Emperor to Citizen” (1961), dia mengakui bahwa sering memukuli para pelayan istana. Tindakan ini semakin meningkat ketika para pelayan melakukan kesalahan.

Namun, tindakan kejam ini masih dianggap wajar karena dia masih dianggap sebagai seorang penguasa. Posisinya yang berada di tepi jurang baru benar-benar terjadi pada tahun 1924.

Kelompok militer anti-dinasti yang dipimpin oleh Feng Yuxiang, berhasil mengusir Puyi yang berusia 18 tahun dari istana di Beijing. Meski begitu, hidup Puyi tidak mengendur karena dia mencari suaka di Jepang dan secara mengejutkan menjadi Kaisar Manchukuo di bawah kekuasaan Jepang pada tahun 1934.

Menurut penulis biografi Puyi, Edward Samuel Behr, dalam buku “The Last Emperor” (1987), keputusan Puyi untuk menjadi Kaisar Manchukuo membuat elit China menganggapnya sebagai seorang pengkhianat. Dia bahkan ditekan untuk dihukum.

Memang benar, saat Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada tahun 1945, Puyi menjadi target utama dan langsung ditahan oleh sekutu China, Rusia. Penahanan ini menjadi akhir dari kehidupan Puyi.

Dari seorang kaisar yang kaya raya, dia menjadi seorang warga biasa. Dia hanya tinggal di balik jeruji besi.

Selama masa penahanan tersebut, dia tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Dia diperlakukan sama seperti tahanan perang lainnya.

Pada titik ini, Puyi mengaku takut akan dihukum mati. Karena pemerintah baru China di bawah Mao Zedong diyakini akan mengambil nyawanya. Namun, ketakutannya sirna ketika dia kembali ke China. Mao Zedong tidak mengambil nyawanya.

Sebaliknya, Puyi diberi sebidang tanah dan rumah di Beijing. Namun, dengan syarat, dia harus setia pada komunisme dan meninggalkan mentalitas ketika dia menjadi seorang kaisar.

Dia menyetujuinya. Setelah itu, Puyi hidup seperti orang biasa.

Tidak ada kemewahan yang diberikan oleh negara. Dia tidak lagi makan dari sendok emas dan hidup sendirian tanpa pengawal.

Untuk mencari uang, sang Kaisar China terakhir harus bekerja sebagai tukang kebun di kebun milik pemerintah. Semua itu dialami oleh Puyi sampai dia meninggal pada 17 Oktober 1967.