Jakarta, CNBC Indonesia – Tingkah laku orang terkaya sering membuat kita geleng-geleng kepala. Mulai dari flexing, foya-foya, hingga termasuk hal tak terduga: cebok pakai uang kertas.
Ini bukan kisah fiksi semata, tapi benar dilakukan oleh Oey Tambah Sia, salah satu orang terkaya di Jakarta (dulu Batavia) di tahun 1800-an. Bagaimana ceritanya?
Oei Tambah Sia tidak mengeluarkan keringat banyak untuk mendapatkan uang melimpah. Sebab, dia memperoleh harta dari warisan orang tua. Ayahnya, Oei Thoa, merupakan pengusaha tembakau asal Pekalongan dan pemilik toko kelontong terbesar di Batavia pada 1830-an.
Selama menjadi orang kaya, Thoa dikenal baik hati. Benny Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menceritakan, Thoa sering membantu orang tidak mampu. Setiap kali ibadah, ratusan orang miskin menerima sedekahnya.
Akan tetapi, setelah Thoa wafat hanya satu hal yang diambil oleh anaknya, Oei Tambah Sia, yakni harta. Sedangkan, sikap-sikap positif tak diresapi. Tambah malah menunjukkan sikap berbeda.
Bermodalkan warisan orang tua, Tambah sering main sabung ayam, berjudi, menghisap narkoba, dan menunjukkan sikap arogan.
Alwi Shahab dalam Oey Tambahsia, Playboy Betawi (2007) menjelaskan, salah satu sikap arogan tersebut terlihat saat dirinya buang hajat di pinggir kali. Semasa hidup, dia yang punya uang banyak sering cebok menggunakan uang kertas. Lalu, uang kertas itu diambil dan menjadi rebutan orang-orang miskin.
Selain itu, sikap arogan lain juga terlihat saat Tambah berupaya memanfaatkan kekayaan untuk memiliki banyak wanita. Dia memang dikenal sebagai pria tampan dan fashionable. Praktis, mudah baginya untuk menggaet perempuan.
Achmad Sunjayadi dalam [Bukan] Tabu di Nusantara (2018) menceritakan, Tambah tak puas dengan satu perempuan. Dia sering gonta-ganti perempuan yang cantik. Bahkan, dia punya bungalow khusus di kawasan Ancol sebagai tempat dia bersantai dengan para perempuan.
Biasanya dia mencari perempuan dengan menunggangi kuda sembari berkeliling kota. Jika tidak ketemu, maka dia meminta germo untuk mencarikan perempuan. Atau jika kepepet, maka dia mengambil paksa perempuan dari rumah.
Dengan sikap seperti itu, orang-orang hanya diam seribu kata. Sulit bagi mereka melawan orang punya uang dan kuasa. Alhasil, kelakuan Oey pun makin menjadi-jadi.
Dari deretan kelakuan nyeleneh pria kelahiran 1827 itu, ada satu yang membuatnya tersandung. Kisah ini bermula saat dia mendekati perempuan berprofesi pesinden bernama, Mas Ajeng Gunjing.
Pertemuan Tambah dengan Ajeng terjadi di Pekalongan saat menghadiri pesta pernikahan. Seperti yang sudah-sudah, dia mudah membawa Ajeng ke Jakarta untuk diajak bermesraan. Perempuan itu pun ditempatkan di bungalow miliknya.
Pada suatu waktu, Ajeng jatuh sakit dan dipindahkan ke rumah pribadi Tambah di Tangerang. Di sini, Ajeng dikunjungi saudara kandungnya, Mas Sutejo. Keduanya langsung akrab sebab masih sedarah. Namun, Tambah tak mengerti dan melihat itu sembari dipanasi bara api cemburu.
Kemudian, Tambah memerintahkan anak buahnya buat membunuh Sutejo. Maka, tewaslah pria Pekalongan itu. Untuk mengelabui, dia juga membunuh anak buahnya dan menuduh pesaingnya Liem Soe King sebagai tersangka.
Namun, akal bulus Tambah tercium polisi yang sudah jengah atas tingkah lakunya sejak dahulu. Aparat tak percaya dan sukses mengumpulkan bukti hingga menyatakan bahwa Sutejo tewas di tangan Tambah. Dari sini, dia dibawa ke pengadilan.
Hakim memberi vonis hukuman mati. Akhirnya, pada 1851, dia dihukum gantung di depan Balai Kota (kini kawasan Kota Tua). Hukuman gantung itu disaksikan secara luas oleh warga Jakarta, sembari mengingatkan bahwa tak ada satupun orang yang bisa bertindak sewenang-wenang.