Orang Indonesia Mengalami Serangan Bom Atom di Hiroshima, Kulit Terbakar-Hampir Tewas

by -93 Views



Daftar Isi



Jakarta, CNBC Indonesia– Pada tanggal 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Enola Gay milik militer Amerika Serikat melemparkan bom atom sebesar 15 kiloton di langit Hiroshima, Jepang.

Bom segera meledak dengan kilatan cahaya dan awan cendawan yang langsung berkembang tinggi ke langit. Beberapa detik kemudian, angin kencang seperti topan menerpa secara radial ke segala arah disertai dengan panas yang tak terkira.

Antara 90 ribu hingga 120 ribu manusia terpanggang hidup-hidup. Total 90% dari 76 ribu bangunan kota terbakar hingga menjadi puing-puing. Dampaknya membuat semua orang berpikir bahwa sudah tidak ada yang selamat.

Namun, ada beberapa manusia yang didoakan bisa selamat dari peristiwa itu. Beberapa orang beruntung adalah warga Indonesia. Selama masa pendudukan, Jepang membuka pintu bagi orang Indonesia untuk bekerja dan belajar di sana.

Ini dilakukan untuk mendapatkan simpati dari rakyat kecil, kelompok menengah, dan pegawai sipil. Namun, sejarah membuktikan bahwa mereka tidak hanya belajar atau bekerja, tetapi juga menyaksikan tragedi yang mengerikan: peluncuran bom atom.

Nyaris Tewas

Kisah pertama datang dari Sjarif Adil Sagala. Dalam memoarnya di “Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, Sekitar Perang Pasifik 1942-1945” (1990), Sagala masih mengingat detik demi detik bagaimana bom atom AS hampir merenggut nyawanya.

Pada tanggal 6 Agustus 1945 pukul 8 pagi, Sagala bangun tidur dan cepat pergi ke kampus. Tidak ada yang aneh pada hari itu. Seperti biasa, dia membawa peralatan dan tidak lupa makan sarapan sebelum masuk kelas.

Sesaat setelah kenyang, Sagala mendengar suara gemuruh. Dia melihat ke langit dan melihat pesawat tempur AS. Pada awalnya, Sagala menganggap itu biasa. Selama perang, pesawat seperti itu sering terlihat di udara. Semua itu menjadi pertunjukan menghibur.

Namun, ketika dia melihat ke langit, tragedi pun terjadi.

“Tiba-tiba terdengar suara aneh dan…. sraatt, sinar berkilau, dengan dahsyat dan mengejutkan!,” ujar Sagala.

Di depannya, terlihat putaran angin besar dan asap besar membubung tinggi ke awan. Dia segera menutup jendela dan berlari. Sayangnya, saat baru berlari 1-2 langkah, dia terjatuh tertimpa bangunan yang runtuh.

Sagala kehilangan kesadaran. Satu-satunya yang dia rasakan adalah wajahnya ditutupi darah dan kulitnya terbakar akibat angin panas yang sangat panas. Dalam kondisi itu, dia merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Teriakan minta tolong tidak didengar karena semua orang juga berada dalam situasi yang sama. Apalagi, pada saat yang sama, api mulai berkobar.

Namun, setelah berteriak beberapa kali, ada seseorang yang mendengar. Dia adalah mahasiswa Indonesia lainnya, Hasan Rahaya. Hasan kemudian menolong Sagala dari reruntuhan dan membawanya ke tempat yang aman.

Lautan Api

Kisah selamat Hasan juga diceritakan oleh seorang penyintas lainnya, Arifin Bey, yang juga warga Indonesia. Arifin dan Hasan sama-sama sekolah di Universitas Waseda. Pada tanggal 6 Agustus 1945, Arifin berada di dalam kelas profesor.

Tidak curiga apa-apa, Arifin hanya mendengar suara gemuruh pesawat dan sirine peringatan. Itu sudah biasa baginya. Profesor masuk ke kelas dan langsung memulai pelajaran.

“Selamat pagi! Sampai minggu yang lampau…..!,” begitu kata-kata profesor terhenti. Mata profesor tertuju keluar jendela. Arifin juga melihat ke luar.

“Tiba-tiba dari arah jendela kelas kelihatan cahaya menyambar ibarat kilat. Tapi, tak membawa bunyi apapun,” kenang Arifin dalam memoarnya “Bom Atom di Atas Hiroshima: Suatu Pengalaman Nyata”.

Tidak lama setelah cahaya muncul, angin panas menerpa dan bangunan runtuh. Arifin terjatuh dan kehilangan kesadaran. Ketika sadar kembali, dia melihat langit pagi yang biru telah berubah menjadi kelam seperti senja.

Arifin mencari orang-orang yang selamat. Dia berlari ke asrama dan bertemu dengan orang Indonesia lainnya, Sjarif Sagala dan Hasan Rahaya. Saat melihat ke luar, Arifin sangat terkejut. Hiroshima yang dulu merupakan kota damai dan asri kini berubah menjadi lautan api.

Akibat dari angin panas tadi, para penduduk Hiroshima juga mengalami penderitaan. Mereka ditutupi darah dan kulit mereka terkelupas. Mereka berlarian mencari pertolongan, namun dalam keadaan kacau. Sulit untuk mendapatkan bantuan medis.

Arifin, Sagala, dan Hasan tentu saja sangat beruntung. Mereka berusaha membantu sesama, menyelamatkan orang-orang dari reruntuhan bangunan dan merawat korban yang terluka.

Nasib Para Penyintas

Selain Arifin, Sagala, dan Hasan, terdapat seorang penyintas Indonesia lainnya bernama Omar Barack. Secara fisik, mereka terlihat sehat, kecuali Sagala yang tertutupi oleh darah. Namun, beberapa hari kemudian, kondisi tubuh mereka mulai terpengaruh oleh radiasi.

Saat tiba di tempat pengungsian di Tokyo, dokter menyatakan bahwa tubuh mereka terpapar radiasi yang sangat tinggi. Jumlah sel darah putih dalam tubuh mereka menurun drastis. Normalnya, seseorang memiliki 4.000 – 11.000 sel darah putih per mikroliter darah. Namun, dalam kondisi ini, mereka memiliki kurang dari 4.000. Mereka berada dalam kondisi kritis. Dokter tidak dapat melakukan banyak hal. Bahkan, Sagala dijelaskan memiliki “sedikit kemungkinan untuk bertahan hidup”.

Namun, mereka berhasil melewati masa kritis selama satu minggu. Selama lima tahun kemudian, mereka menjalani pemantauan oleh dokter untuk melihat efek radiasi.

Ketika kembali ke Indonesia, sebagian besar dari para penyintas tersebut menjadi pengusaha sukses di Indonesia.

Pada tahun 1969, Sjarif Adil Sagala mendirikan mie instan pertama di Indonesia bernama Supermi. Hasan Rahaya membangun usaha pelayaran dan kargo, serta menjadi anggota DPR pada era Orde Baru. Anaknya, Ferdy Hassan, menjadi seorang artis terkenal.

Sementara Omar Barack juga sukses sebagai pengusaha kayu dan baja. Anaknya menikah dengan politisi dan pengusaha Surya Paloh, dan cucunya menikah dengan musisi Syahrini. Hanya Arifin Bey yang tidak menjadi pengusaha. Dia memilih menjadi diplomat dan peneliti.

(mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global