Kisah Menarik Pria Jawa yang Menjadi Menteri di Kabinet Belanda

by -74 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya berlangsung di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Salah satunya dilakukan oleh Ario Soejono.

Ario merupakan orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang diangkat sebagai menteri dalam kabinet Belanda. Selama menjadi menteri, Ario memperjuangkan hak kemerdekaan rakyat Indonesia di hadapan kabinet Belanda.

Bagaimana kisahnya?

Bupati Jawa Cemerlang
Ario Soejono lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada 31 Maret 1886 dari keluarga yang sangat berada. Ayahnya adalah Bupati Tulungagung, sehingga karena status bangsawan ini dia beruntung bisa bersekolah hingga pendidikan tinggi.

Setelah bersekolah, Soejono bekerja di dunia pemerintahan. Dia memulai karirnya sebagai asisten wedana pada tahun 1911. Karir ini terus berkembang hingga dia menjadi Bupati Pasuruan dari tahun 1915-1927.

Ketika menjadi bupati, usianya masih sangat muda, yaitu 30 tahun. Bahkan, pada waktu yang sama, dia juga menjadi anggota Volksraad (DPR zaman kolonial) periode 1920-1930.

Selama menjabat, dia memiliki karier cemerlang sehingga menjadi andalan pemerintah kolonial. Dia sering bolak-balik antara Belanda dan Jawa untuk mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Kedekatannya dengan pemerintah kolonial akhirnya mengubah jalan hidup Soejono selamanya.

Momen yang tak terlupakan bagi Soejono mungkin terjadi pada tahun 1942. Saat itu, negara kolonial Hindia Belanda terancam bubar akibat serangan besar-besaran Jepang. Situasi ini membuat semua pejabat panik, termasuk Soejono dan keluarganya.

Seperti yang diungkapkan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008), dia melarikan diri ke Australia bersama van Mook dan Loekman Djajadiningrat. Dari Australia, dia kemudian pergi ke London, tempat pemerintahan Belanda mengasingkan diri karena saat itu Amsterdam diduduki oleh Nazi Jerman.

Di sana, tepat pada 6 Juni 1942, nasib Soejono berubah. Perdana Menteri Pieter Sjoerd Gerbrandy secara resmi mengangkat Soejono sebagai menteri.

“Pada saat bersejarah, karena sekarang untuk pertama kalinya seorang putra bangsa Indonesia menjadi anggota pemerintahan Belanda,” kata PM Gerbrandy dalam pidato kenegaraan yang disambut dengan tepuk tangan meriah.

Pengangkatan ini, tulis Harry A. Poeze, bertujuan untuk menegaskan adanya ikatan nasib antara Belanda dan Indonesia. Maksud ini terlihat jelas pada jabatan menteri tanpa departemen yang dipegang Soejono.

Jadi, posisi menteri sebenarnya hanya upaya Belanda untuk memasukkan orang Indonesia dalam koalisi pemerintahan. Dapat dikatakan, hanya sebagai simbol belaka.

Meskipun begitu, posisi menteri tidak membuat Soejono tunduk begitu saja kepada Belanda. Dia menggunakan posisi pentingnya itu untuk menyuarakan kemerdekaan Indonesia.

Selama menjadi menteri, Soejono dikenal memanfaatkan suaranya untuk memberi masukan tentang tata negara Indonesia setelah perang selesai. Pada saat itu, keberadaan Indonesia setelah Perang Dunia II dianggap penting oleh banyak orang.

“Oleh karena itu, Soejono menyatakan bahwa rakyat Indonesia ingin memutuskan hubungan dengan Belanda. Karena itu, menurut Soejono, pernyataan Belanda harus menjamin lahirnya hubungan sukarela dan ikatan kenegaraan,” tulis Harry A. Poeze.

Menteri Tanah Jajahan, van Mook, juga memiliki pandangan yang sama. Dia mengusulkan kesetaraan antara tanah jajahan, termasuk Indonesia, dengan Belanda. Nantinya, di tanah jajahan akan ada kementerian dan parlemen masing-masing. Namun, pandangan itu ditolak. Soejono ingin Belanda juga mempertimbangkan hak-hak warga Indonesia dan juga kemerdekaan yang sebenarnya.

“Bagi Soejono, itu tidak cukup. Menurutnya, Indonesia harus merdeka sepenuhnya,” ungkap Martin Bossenbroek dalam Pembalasan Dendam Diponegoro (2023).

Namun, usaha itu ternyata tidak didengar sama sekali oleh PM Gerbrandy dan anggota menteri lainnya. Mereka menganggap tuntutan Soejono terlalu jauh. Soejono bahkan mengulangi pernyataannya sampai 2-3 kali, namun semuanya diabaikan.

Menyadari kondisinya terdesak, Soejono tidak mau mundur. Dia tetap mempertahankan posisinya untuk Indonesia. Namun, upaya ini tidak berlangsung lama karena dia diasingkan di London.

Pengasingan ini akhirnya berujung pada kematian Ario Soejono pada 5 Januari 1943. Setelah Soejono, kita sekarang tahu bahwa tidak ada lagi warga negara Indonesia yang menjadi pejabat tinggi Belanda atau pejabat di luar negeri.

(mfa/mfa)