Raja Jawa Dipuja Rakyat, Menolak Kemewahan dan Memilih Hidup Sederhana

by -105 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Bagi banyak orang memiliki kekuasaan dan kekayaan pada saat yang sama adalah sumber kebahagiaan. Berbagai keistimewaan pasti akan dinikmati.

Namun, terkadang orang lupa akan tanggung jawab yang berkaitan dengan kehidupan banyak orang. Semakin kaya dan berkuasa, tentu tanggung jawabnya akan semakin besar.

Terkait hal ini, ada satu kisah dari masa lalu tentang Raja (pemimpin) Jawa Mangkunegara VI ketika berkuasa pada tahun 1896. Alih-alih memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan untuk kepentingan pribadi, Mangkunegara VI membuat berbagai inovasi yang membuatnya dicintai oleh rakyat.

Dia menolak semua kemewahan, memilih untuk hidup sederhana dan pro-rakyat. Bagaimana kisahnya?

Awalnya, seorang pria yang bernama asli Raden Mas Suyitno ini tidak pernah menyangka bahwa dia akan memimpin Pura Kadipaten Mangkunegaraan yang berbasis di Solo. Namun, kematian kakaknya yang masih muda mengubah jalan hidupnya.

Dari awalnya menjadi tentara kerajaan, Suyitno berubah menjadi Raja Jawa yang berhak menyandang gelar Mangkunegara VI. Mangkunegaraan tidak menerapkan tradisi bahwa pewaris takhta harus menjadi anak raja.

Seperti penguasa sebelumnya, hidup Suyitno sebagai raja diprediksi akan penuh dengan kenikmatan. Dia sudah pasti kaya raya, sangat dihormati oleh rakyat, dan memiliki kekuatan besar.

Dia juga bisa melakukan banyak hal untuk kepentingan diri sendiri. Namun, Suyitno menyadari bahwa kondisi kesultanan telah berubah sejak tahun 1869.

Dia mewarisi berbagai masalah dari pemimpin sebelumnya. Bisnis gula terus mengalami kerugian, sehingga kas kerajaan semakin sedikit.

Namun, di tengah ancaman kebangkrutan, keluarga kerajaan tetap hidup dalam kemewahan dan pemborosan.

Akibatnya, Suyitno melakukan reformasi besar-besaran untuk mengubah tradisi. Semua perubahan dimulai dari hal-hal yang sederhana. Secara pribadi, dia menolak tunjangan dan memilih untuk hidup sederhana.

Menurut riset dari Mangkunegoro VI: Sang Reformis (2021), Suyitno berhasil mengurangi biaya hidup para bangsawan dan menyederhanakan berbagai pesta.

Dia juga meminta bangsawan untuk tidak mengadakan pesta sendiri, tapi diadakan secara massal. Selain itu, dia juga mengurangi jumlah pegawai yang tidak kompeten.

Salah satu perubahan menarik lainnya adalah menghapus feodalisme di kerajaan. Dia juga melarang kebiasaan jalan jongkok yang dilakukan untuk menghormati bangsawan dan raja.

Semua upaya tersebut akhirnya membuat kas kerajaan mulai bertambah. Penambahan kas tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan dialihkan untuk kepentingan rakyat.

Suyitno aktif memberikan beasiswa pendidikan dan mendirikan sekolah perempuan. Selain itu, dia juga mengizinkan orang Tionghoa untuk mendirikan rumah duka dan memperbolehkan penyebaran agama Kristen.

Sikap Suyitno sebagai penguasa membuat rakyat mencintainya dan menyebutnya sebagai Raja Jawa yang hidup sederhana. Namun, para pembenci Suyitno menganggapnya sebagai Raja Jawa yang pelit.

Para penulis biografi Mangkunegara VI mencontohkan bahwa para pembenci tersebut adalah pejabat Belanda yang ditolak oleh Suyitno, serta para bangsawan atau orang terdekatnya sendiri.

Mereka yang sejak kecil hidup dalam kemewahan merasa dirugikan oleh kebijakan Suyitno karena tidak dapat hidup mewah lagi dan menjadi sulit. Bahkan, mereka tidak lagi dihormati karena dianggap sama dengan rakyat biasa.

Akhirnya, berbagai tekanan membuat Suyitno merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk turun dari tahta sebagai Raja Jawa. Dia kemudian mengasingkan diri bersama keluarganya di Surabaya hingga meninggal pada 24 Juni 1928.

(mfa/sef)