LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -57 Views

By: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat menggugah semangat orang-orang, tetapi Gubernur Suryo juga adalah seorang juru bicara yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Tetapi dia memahami bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus mempertahankan kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang besar bagi generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan sulit dan bagaimana seorang pemimpin bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo adalah bagian penting dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia berada di balik keputusan untuk memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah terpenting yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia. Itu adalah pertempuran besar antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari pemuda dan pelajar pesantren Surabaya, dan Pasukan Inggris. Itu adalah peristiwa pahlawan yang sangat heroik dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah.

Pertempuran massa melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menewaskan lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran yang massa dan ganas ini dirayakan setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai dengan kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Hal ini merupakan puncak dari pertempuran hampir seminggu antara Brigade yang diperintah oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby membuat kesalahan besar dengan membagi brigadenya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos penjagaan di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah menangkap ribuan senjata dari Jepang. Beberapa adalah pasukan resmi. Yang lainnya relawan. Yang lainnya lagi geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak bisa saling membela karena terlalu tersebar di kota sebesar Surabaya. Brigade tersebut dilenyapkan sebagai kekuatan terorganisir. Tindakan-tindakan ini membawa pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini menghina Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Angkatan Darat Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir buntu.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Angkatan Darat Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara agar semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerahkan diri dan bahwa semua orang Indonesia yang tidak berwenang membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak Indonesia diordertur untuk meninggalkan kota menuju Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum tersebut adalah pukul 18.00. Jika perintah tersebut tidak dipatuhi, Angkatan Darat Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum ini membuat panik penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk perang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan sepenuhnya keputusan tentang bagaimana menanggapi kepada penduduk Surabaya.

Pada saat kritis tersebut, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, secara luas, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia merupakan bangsa besar yang mampu bertahan dari serangan militer besar oleh kekuatan asing. Bangsa yang berani ini tidak takut kepada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk mempertahankan kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang terhina, bangsa yang tunduk di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh kekuatan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah milik Gubernur Suryo sepenuhnya.

Saat mendekati batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan penting kepada penduduk Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak panas. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang cukup kuat untuk memobilisasi semua yang mendengarkannya untuk bersiap-siap membela Surabaya.

Meskipun Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena oratorinya yang menggugah, Gubernur Suryo dengan nada tenang namun tegas tidak kalah kuatnya. Pidato Gubernur Suryo menjadi ‘seruan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah tersebut. Kita hanya bisa membayangkan emosi murninya saat dia berbicara kepada penduduk Surabaya.

Lebih sulit untuk dipahami, mengingat bahwa Gubernur Suryo bukanlah seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya memahami perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani untuk membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Demikianlah kualitas kepemimpinan besar yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH DIHANCURKAN DARIPADA DIREKOLONISASI LAGI!

Saudara-saudara,

Pemimpin-pemimpin kita di Jakarta telah melakukan segala upaya untuk mengelola perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semua itu sia-sia. Sekarang terserah kepada kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, kita harus menegakkan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berulang kali, kita telah menyatakan posisi kita: Kami lebih memilih dihancurkan daripada direkolonisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kita akan tetap memegang teguh sikap itu. Kita akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menghadapi segala kemungkinan esok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), polisi, pemuda dan organisasi perlawanan akar rumput. Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita diberi kekuatan serta Berkat dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link