Raja Jawa Dicintai Rakyat Namun Diguncang Pemberontakan

by -77 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Manusia pada dasarnya memiliki kepribadian yang berbeda, walaupun dihadapkan pada situasi dan kondisi yang sama. Ini juga berlaku untuk seorang raja.

Ada yang memiliki hati yang baik dan dicintai oleh rakyat, namun ada juga yang menjadi tamak dan sewenang-wenang ketika memiliki kekuasaan dan kekayaan yang menjadi sumber kenikmatannya.

Sehubungan dengan ini, ada dua kisah tentang Raja Jawa dari masa lalu.

Raja yang Menolak Kemewahan dan Dicintai Rakyat
Raja (pemimpin) Jawa Mangkunegara VI saat berkuasa pada tahun 1896. Alih-alih memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan untuk kepentingan pribadi, Mangkunegara VI membuat terobosan yang memenanginya hati rakyat.

Dia menolak segala bentuk kemewahan, memilih hidup sederhana dan bersikap pro-rakyat. Bagaimana kisahnya?

Awalnya, seorang pria bernama asli Raden Mas Suyitno ini tidak pernah bermimpi akan memimpin Pura Kadipaten Mangkunegaran yang berbasis di Solo. Namun, kematian kakaknya yang masih muda mengubah jalannya hidup.

Dari seorang tentara kerajaan, dia berubah menjadi Raja Jawa yang berhak menyandang gelar Mangkunegara VI. Mangkunegaraan tidak mengikuti tradisi bahwa pewaris takhta harus merupakan anak raja.

Seperti para penguasa sebelumnya, kehidupan Suyitno sebagai raja diprediksi akan dipenuhi kemewahan. Dia sudah pasti kaya, sangat dihormati oleh rakyat, dan memiliki kekuatan besar.

Dia juga bisa melakukan banyak hal untuk kepentingan pribadi. Namun, Suyitno menyadari bahwa kondisi kesultanan telah berubah sejak 1869.

Dia mewarisi sejumlah masalah dari pemimpin sebelumnya. Bisnis gula terus merugi, sehingga kas kerajaan semakin berkurang.

Parahnya, di tengah ancaman kebangkrutan, keluarga kerajaan tidak mengubah gaya hidup mereka. Mereka tetap hidup mewah dan boros.

Akibatnya, Suyitno melakukan reformasi besar-besaran untuk mengubah tradisi. Semua dilakukan mulai dari hal-hal sederhana. Secara pribadi, dia menolak menerima tunjangan dan memilih hidup sederhana.

Seperti yang disampaikan oleh tim riset dari Mangkunegoro VI: Sang Reformis (2021), Suyitno memangkas biaya hidup para bangsawan dan menyederhanakan berbagai acara pesta.

Dia meminta agar bangsawan tidak lagi mengadakan pesta secara individu, melainkan secara massal. Selain itu, dia juga mengurangi jumlah pegawai yang tidak kompeten.

Salah satu hal menarik lainnya adalah penghapusan praktik feodalisme di istana. Dia menghilangkan tradisi berjalan jongkok yang biasa dilakukan di lingkungan Mangkunegaraan sebagai tanda penghormatan kepada bangsawan dan raja.

Semua ini pada akhirnya membuat kas kerajaan bertambah. Tambahan kas tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, melainkan dialihkan untuk kepentingan rakyat.

Dia sangat aktif dalam memberikan beasiswa pendidikan dan mendirikan sekolah perempuan. Selain itu, dia juga mengizinkan orang Tionghoa untuk mendirikan rumah duka dan menyebarkan agama Kristen.

Sikap Suyitno sebagai raja membuat rakyat mencintainya dan menyebutnya sebagai Raja Jawa yang hidup sederhana. Di sisi lain, para pengkritik Suyitno melihatnya sebagai Raja Jawa yang pelit.

Para penulis biografi Mangkunegara VI mencatat bahwa para pengkritik ini adalah pejabat Belanda yang ditolak oleh Suyitno, serta bangsawan atau orang terdekatnya.

Mereka yang sejak kecil hidup dalam kemewahan merasa dirugikan oleh kebijakan Suyitno karena tidak bisa lagi hidup mewah dan merasa kesulitan. Mereka juga tidak lagi mendapat penghormatan karena sekarang setara dengan rakyat biasa.

Akhirnya, berbagai tekanan membuat Suyitno merasa tidak nyaman dan memutuskan untuk mundur dari jabatan Raja Jawa. Dia kemudian mengasingkan diri bersama keluarganya di Surabaya hingga meninggal pada 24 Juni 1928.

Raja yang Menjadi Ganas Setelah Pindah ke Istana Baru
Sejak menjadi orang nomor satu di Mataram, Raja Amangkurat I berusaha mengkonsolidasikan Kerajaan Mataram, melakukan sentralisasi pemerintahan, dan mengatasi semua pemberontakan.

Semua program ini dilakukan dengan cara yang kejam, seperti yang disebutkan oleh sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999), yang sudah terlihat sejak awal pemerintahannya. Polanya selalu menghilangkan lawan-lawan, baik di istana maupun di daerah.

Setahun setelah berkuasa, misalnya, Amangkurat I terbukti membunuh Panglima Mataram, Wiraguna.

Wiraguna dikirim oleh Amangkurat I ke Ujung Timur Jawa untuk melawan pasukan Bali. Namun, setibanya di sana, dia dan pasukannya dibunuh atas perintah Amangkurat I. Keluarga Wiraguna juga mengalami nasib yang sama.

Pola-pola seperti ini membuat orang yang masih hidup sangat takut. Akibatnya, mereka akhirnya menuruti perintah meskipun dengan berat hati.

Kekerasan Amangkurat I semakin meningkat ketika dia pindah ke istana baru di Plered. Di sana, istana dibangun megah dengan dinding batu bata merah.

“Menunjukkan kekokohan dan keinginan Amangkurat I untuk menunjukkan kuasa di seluruh kerajaan,” tulis Rickfles.

Setelah itu, Amangkurat I semakin sering membunuh orang. Akhirnya, kekejaman ini berdampak buruk pada kekuasaannya sendiri. Para pendukung dan orang di daerah berbalik melawan.

“Kekuasaan duniawinya telah menimbulkan perpecahan di kalangan orang-orang terhormat […]. Oleh karena itu, para sekutu dan bawahan di daerah-daerah terpencil mendapat kesempatan emas untuk memutuskan kesetiaan mereka pada Amangkurat I,” tulis sejarawan asal Australia itu.

Puncaknya terjadi pada tahun 1677. Pada saat itu, para pendukung Amangkurat I tidak tahan lagi dengan perilaku sang Raja Jawa. Terutama karena Amangkurat I yang sudah tua tidak mampu membawa kemajuan bagi kerajaan.

Sejarawan de Graff dalam Runtuhnya Istana Mataram (1987) menyebut, peralihan dukungan dari para pendukung dan para pembesar Jawa dari Amangkurat I ke kelompok pemberontak membuat pertahanan Mataram hancur dari dalam.

Akibatnya, pada bulan Juli 1677, istana Amangkurat I berhasil direbut oleh pasukan Madura yang dipimpin oleh Raden Trunojoyo. Meskipun demikian, Amangkurat I masih selamat karena dia sudah melarikan diri dari istana sebulan sebelum jebol.

Pada bulan Juni 1677, dia pergi ke Imogiri, tempat pemakaman raja Mataram sebelumnya, untuk mengumpulkan kembali kekuatan. Namun, kekuatannya tidak sebesar dulu.

Dia kemudian pergi ke Barat, kali ini sendirian. Namun, perjalanannya terhenti karena de Graff mencatat bahwa dia meninggal di tengah jalan, sekitar Wanayasa dan Ajibarang.