LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SOETOMO (BUNG TOMO)]

by -240 Views

By: Prabowo Subianto [dikutip dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Ketika Rakyat Surabaya menerima ultimatum dari pasukan Inggris, Bung Tomo menjawab dengan teriakan keras: ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau mati’.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Pidato ini dilaporkan disiarkan terus menerus hingga pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu. Mungkin tanpa pidato ini dan keterampilan Bung Tomo sebagai seorang orator, Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang merdeka seperti sekarang.

Pada tanggal 10 November 1945, dan selama sepuluh hari berikutnya, rakyat Surabaya bertempur dalam pertempuran sengit di dan sekitar Surabaya, yang sekarang dikenal dengan julukan Kota Pahlawan.

Ketika membaca tentang peristiwa sejarah di masa itu, seseorang tidak dapat tidak terkesan oleh kekaguman dan kebanggaan.

Pada awal berdirinya Republik, ketika Indonesia masih minim persenjataan, rakyat, khususnya para pemuda arek-arek Suroboyo, memilih untuk tidak tunduk pada ancaman dan ultimatum yang dikeluarkan oleh pemenang Perang Dunia II.

Pada saat itu, Angkatan Bersenjata Inggris mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya. Jika, dalam waktu 24 jam, para pemuda Surabaya tidak menyerahkan senjata dan meninggalkan kota, Angkatan Bersenjata Inggris akan menghancurkannya dengan kekuatan yang sangat besar dari tank, kapal perang, dan pesawat mereka.

Kita dapat membayangkan betapa beratnya pernyataan tersebut. Ultimatum ini diberikan oleh tentara yang baru saja memenangkan Perang Dunia II. Namun, leluhur kita, pada usia yang sangat muda, menolak untuk ditakuti. Mereka bahkan tidak bergeming. Mereka menolak ultimatum yang arogan itu.

Sebaliknya, mereka berteriak ‘Allahuakbar’ dan ‘Merdeka atau Mati’. Mereka memilih untuk melawan pasukan Inggris daripada menyerah dan tunduk di hadapan mereka.

Arek-arek Suroboyo, para pemuda Surabaya, sungguh pantas mendapatkan penghormatan dan rasa hormat kita. Negara-negara yang meremehkan kita sebagai lemah, ketinggalan zaman, dan malas menyaksikan bagaimana bangsa Indonesia tidak gentar untuk menyerah melalui ancaman, intimidasi, dan kehadiran kekuatan bersenjata asing.

Pada tanggal 10 November dan hari-hari berikutnya, Angkatan Bersenjata Inggris mengebom Surabaya dari semua arah. Akibatnya, puluhan ribu orang Indonesia kehilangan nyawa. Satu perkiraan menempatkan jumlah korban lebih dari 40.000. Namun, arek-arek Suroboyo, para pejuang kita, menolak untuk menyerah, meskipun menderita kerugian yang berat. Meskipun mayat berserakan di jalan dan parit, dan sungai berubah merah dengan darah. Di Surabaya, para pejuang kita, para pemuda kita, didukung oleh seluruh rakyat Surabaya, terus bertempur dengan penuh keberanian di tengah hujan peluru dan gempuran artileri berat.

Dalam pertempuran ini, selain Gubernur Suryo, yang ceritanya sudah saya ceritakan sebelumnya, dan Hario Kecik, yang akan saya ceritakan nanti, Bung Tomo menjadi tokoh sentral dan berpengaruh yang memimpin dari garis depan pertempuran.

Soetomo, atau Bung Tomo seperti banyak yang dengan penuh kasih sebut padanya, lahir di Surabaya pada tahun 1920. Pada masa mudanya, ia merupakan seorang jurnalis lepas dengan surat kabar Soeara Oemoem, Ekspres, majalah Pembela Rakyat, dan majalah Poestaka Timoer.

Pada tahun 1944, ia dipilih sebagai anggota Gerakan Rakyat Baru dan administrator Pemuda Republik Indonesia di Surabaya. Selain itu, pada Oktober 1945, Bung Tomo juga memimpin Front Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Inilah asal usul keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November. Dengan posisinya, ia bisa mengakses stasiun radio yang memainkan peran penting dalam penyiaran pidatonya yang penuh semangat untuk membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang dan mempertahankan Surabaya.

Kualitas kepemimpinan Bung Tomo terlihat dalam pidatonya yang disiarkan oleh RRI Surabaya pada November 1945. Pidato ini bahkan dilaporkan disiarkan terus menerus, dan tidak berhenti hingga pemuda Surabaya mencapai kemenangan melawan Pasukan Sekutu:

Bismillahirrohmanirrohim… Merdeka!!!

Saudara-saudara, saudari-saudari seantero Indonesia, khususnya rakyat Surabaya. Kita semua tahu, hari ini Angkatan Bersenjata Inggris telah menyebar pamflet dengan ancaman kepada kita semua.

Sebelum batas waktu yang mereka tetapkan, kami disuruh menyerahkan senjata yang kami rebut dari Angkatan Bersenjata Jepang. Mereka memerintahkan kita untuk mendatangi mereka dengan tangan terangkat.

Mereka menyuruh kita mendekati mereka dengan bendera putih; untuk menunjukkan bahwa kami menyerah kepada mereka.

Saudara-saudara, dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, kami menunjukkan bahwa orang Indonesia Surabaya, pemuda-pemuda Maluku, pemuda-pemuda Sulawesi, pemuda-pemuda Bali, pemuda-pemuda Kalimantan, pemuda-pemuda Sumatra, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan pemuda Surabaya sendiri, di masing-masing pasukannya, dengan tentara rakyat yang terbentuk di desa-desa, mereka telah membangun pertahanan yang tak tergoyahkan. Mereka telah menunjukkan kekuatan yang mampu menghalau musuh dari segala arah.

Saudara-saudara, musuh kita telah menggunakan taktik licik. Mereka mengundang Presiden dan pemimpin lain ke Surabaya, berharap kita patuh dan meninggalkan perjuangan kita. Namun dalam diam, mereka memperkuat kekuatan mereka. Dan sekarang, inilah yang terjadi.

Saudara-saudara. Kami semua, orang Indonesia Surabaya, akan menerima tantangan Angkatan Bersenjata Inggris. Dan jika pemimpin Pasukan Inggris di Surabaya ingin mendengar jawaban dari rakyat Indonesia, jawaban dari pemuda Surabaya, dengarkan dengan seksama.

Inilah jawaban kami. Inilah jawaban dari rakyat Surabaya. Inilah jawaban dari pemuda-pemuda Indonesia kepada kalian semua!

Eh, Pasukan Inggris! Kalian menyuruh kami membawa bendera putih dan menyerah kepada kalian. Kalian mendesak kami membentuk barisan tunggal dan mengangkat tangan kami di depan kalian. Kalian menyuruh kami meletakkan senjata yang kami rebut dari Angkatan Bersenjata Jepang dan menyerahkannya kepada kalian.

Kalian memberitahu kami bahwa kalian akan mengebomi kami dengan semua kekuatan militer kalian jika ultimatum kalian tidak dipenuhi. Inilah jawaban kami:

Selama kami, banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah di dalam diri kami yang dapat kami gunakan untuk membuat sehelai kain merah-putih, kami tidak akan menyerah. Kami menolak untuk menyerah kepada siapapun. Rakyat Surabaya, bersiaplah untuk situasi yang berbahaya ini! Tapi saya peringatkan kalian sekali lagi: Janganlah melepaskan tembakan pertama. Hanya saat kami ditembak, baru kami akan membalasnya. Kami akan menunjukkan pada mereka bahwa kami benar-benar adalah bangsa yang merdeka.

Dan bagi kita semua, saudara-saudara, lebih baik kami hancur daripada dijajah. Moto kami tetap: Merdeka atau Mati! Untuk merdeka atau binasa!

Dan kami percaya bahwa, pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik kita, karena Allah berada di pihak kita. Percayalah, saudara-saudara. Allah akan melindungi kita semua. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!

Source link