Surabaya – PT. Hitakara, korban dugaan kepailitan yang salah di Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya, mengapresiasi Komisi Yudisial (KY) yang telah merekomendasikan pemecatan dengan hak pensiun terhadap Hakim Mangapul, SH, MH dalam kasus vonis bebas terhadap terdakwa Gregorius Ronald Tannur.
Hukuman pemecatan tersebut dianggap tepat. Hal ini karena Hakim Mangapul dalam satu minggu membebaskan dua terdakwa dalam kasus pidana yang berbeda.
Setelah memvonis bebas Gregorius Ronald Tannur pada tanggal 24 Juli 2024, Mangapul, SH, MH, bersama hakim Suswanti, SH, and Sudar, SH memberikan vonis onslag kepada terdakwa Victor Sukarno Bachtiar yang terlibat dalam kasus kepailitan No. 952/Pid.B/2024/PN.Sby pada tanggal 30 Juli 2024.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa terdakwa Victor Sukarno Bachtiar, sebagai kuasa hukum dari Pemohon PKPU, membuat tagihan palsu kepada PT. Hitakara padahal seharusnya tagihan tersebut dialamatkan kepada PT. Tiga Sekawan. Akibatnya, dua hotel milik PT. Hitakara masuk dalam harta pailit yang kini dikuasai oleh kurator.
“Direktur PT. Hitakara telah mengadukan Hakim Mangapul, SH, MH, dan rekan-rekannya ke Bawas Mahkamah Agung RI pada tanggal 2 Agustus 2024 dengan tuduhan dugaan suap dalam putusan perkara No. 952/Pid.B/2024/PN.Sby. Kami meminta agar hakim Suswanti dan Sudar juga dapat dipecat. Kami mendukung rencana KPK untuk mengungkap suap,” ujar R Primaditya Wirasandi, SH selaku Kuasa Hukum Pidana PT. Hitakara, yang didampingi oleh Livia Patricia, SH dalam konferensi pers di Surabaya (29/8/2024).
Primaditya menduga bahwa sejak awal perkara PT. Hitakara ini masuk ke dalam ranah PKPU hingga kepailitan, sudah terjadi persekongkolan untuk menjatuhkan PT. Hitakara ke dalam ranah PKPU dan Pailit.
“Klien kami menjadi korban dari persekongkolan jahat yang menggunakan topeng PKPU dan kepailitan. Putusan onslag terhadap Terdakwa Victor Sukarno Bahtiar jelas tidak didasarkan pada fakta materiil, sama halnya dengan putusan bebas Gregorius Ronald Tannur,” lanjutnya.
Masih terkait dengan perkara pemalsuan hutang di PT. Hitakara, Primaditya juga menyebut bahwa saat ini masih berlangsung perkara pidana No. 1277/Pid.B/2024/PN.Sby dengan Terdakwa Indra Ari Murto dan Terdakwa Riansyah yang perlu pengawasan khusus.
“Kami meminta MA, Bawas MA, bahkan KPK untuk melakukan pengawasan khusus terhadap proses peradilan yang sedang berlangsung. Karena salah satu hakimnya adalah Pak Mangapul SH, MH,” tambahnya.
Primaditya menjelaskan bahwa akibat PKPU dan kepailitan yang salah, PT. Hitakara kehilangan aset-asetnya.
“Padahal kami sedang berjuang untuk bangkit kembali setelah terdampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020-2022. Saat ini PT. Hitakara mengalami kerugian yang besar dan sudah berhenti beroperasi karena hotelnya sudah dikuasai oleh Kurator,” ungkapnya.
Terkait dengan proses PKPU dan Kepailitan PT. Hitakara yang salah, Primaditya menyatakan bahwa telah mengirimkan surat pengaduan kepada MA dan Pengadilan Tinggi Surabaya untuk mengawasi proses tersebut.
“Klien kami yakin bahwa utang yang ditagihkan bukan utang PT. Hitakara tetapi utang dari PT. Tiga Sekawan. Penyidik dan Jaksa juga sudah menyatakan dugaan kuat terjadinya pemalsuan atau memberikan keterangan palsu dalam permohonan PKPU Hitakara. Namun, saat sampai di Pengadilan Negeri Surabaya, diputus onslag. Kasus pemalsuan terhadap terdakwa Victor Sukarno Bachtiar dianggap bukan tindak pidana melainkan perdata,” jelasnya.
Majelis hakim mempertimbangkan tata cara pengajuan PKPU. Namun, hal ini tidak sinkron dengan masalah yang sebenarnya. Materi pokok pidananya tentang pemalsuan surat justru dibelokkan ke masalah perdata,” tambahnya.
Sementara itu, kuasa hukum PT. Hitakara lainnya, Livia Patricia, menegaskan bahwa meski menemukan banyak kejanggalan, PT. Hitakara telah dinyatakan pailit dan saat ini masih dalam upaya Peninjauan Kembali (PK) di MA.
“Kejanggalan itu sudah terlihat sejak awal. Kasus Hitakara tidak lagi terkait dengan tujuan PKPU dan kepailitan sesuai dengan Undang-undang. Saat ini kami sudah hampir dua tahun berjuang. Perkara kepailitan PT. Hitakara masih dalam tingkat PK,” tegasnya.
Livia berharap bahwa perkara kepailitan PT. Hitakara dapat mencapai hasil yang baik sebagai upaya perbaikan dalam hukum kepailitan di Indonesia yang telah terbalik dan disalahgunakan oleh segelintir orang demi kepentingan pribadi, namun merusak sistem kepailitan di Indonesia.
“Kami sangat berharap bahwa majelis hakim Agung dalam tingkat PK dapat lebih cermat dan adil dalam memeriksa bukti berdasarkan fakta yang kami sampaikan untuk mendapatkan putusan yang adil, berdasarkan hukum dan keadilan,” harapnya.