Krisis Pangan: Ancaman Global dan Nasional
Global Network Against Food Crises (GNAFC) baru-baru ini merilis sebuah laporan bertajuk Global Report on Food Crises (GRFC) 2024. Dalam laporan ini disebutkan bahwa pada tahun 2023 terdapat lebih dari 281,6 juta orang di 59 negara mengalami krisis pangan atau kerawanan pangan akut tingkat tinggi. Indonesia sendiri tidak termasuk dalam 59 negara/ wilayah yang mengalami krisis pangan tersebut. Namun berdasar artikel yang dipublikasikan oleh infobanknews.com pada tanggal 15 Desember 2023 menyebutkan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan signifikan terhadap impor komoditas pangan sepanjang tahun 2023. Komoditas tersebut diantaranya beras, gula, daging, dan jagung. Hal ini tentunya menjadi alarm tersendiri karena menunjukkan bahwa ketergantungan negara kita terhadap komoditas pangan impor ini mengalami kenaikan. Sekaligus menunjukkan bahwa model pertanian kita masih belum optimal dalam memenuhi kebutuhan komoditas pangan nasional.
Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA): Solusi Alternatif
Terdapat banyak aspek yang dapat dioptimalkan sebagai alternatif solusi dari permasalahan model pertanian. Salah satunya adalah membangun model pertanian berbasis Community Supported Agriculture (CSA). CSA merupakan model pertanian yang menghubungkan petani dengan komunitas konsumen secara langsung. Model pertanian CSA ini banyak bermunculan di negara-negara di benua Amerika dan Eropa. LocalHarvest.org mencatat bahwa di Amerika Serikat terdapat lebih dari 4.000 CSA. Untuk di Eropa, berdasarkan data pada publikasi European CSA Research Group (2016): Overview of Community Supported Agriculture in Europe, pada tahun 2015 di Eropa telah terdapat 2.783 CSA.
Salah satu contoh sukses CSA adalah Garten Coop di Freiburg, Jerman. Garten Coop merupakan Koperasi yang didirikan pada tahun 2011 dan menjadi koperasi yang menjalankan konsep Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA). Dengan konsep Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA), para petani dan konsumen tergabung menjadi anggota dalam sebuah koperasi yang mengelola lahan pertanian dengan organisasi yang dikelola secara demokratis.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaran Antropologi, Vol. 1 No. 2 (2022) Revolusi Mengitari Tani: Solidaritas Komunitas SOLAWI di Freiburg, Garten Coop mengelola lahan pertanian dengan luas sekitar 10 hektar dan mendistribusikan hasil pertaniannya kepada anggotanya di kota Freiburg. Anggota Garten Coop terdiri dari petani dan konsumen yang terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok kerja untuk urusan administrasi, kontrak kerja serta kepegawaian petani, dan kelompok-kelompok kerja untuk urusan pekerjaan sukarela tertentu, seperti distribusi, relasi publik, edukasi dan komunitas, dan lainnya. Garten Coop menerapkan sistem pre-order, memungkinkan petani merencanakan produksi dengan lebih baik dan meminimalkan pemborosan.
Garten Coop juga menerapkan sistem yang demokratis dalam penyaluran hasil pertanian. Anggota yang menjadi sukarelawan akan membantu mengalokasikan hasil panen kepada para anggota sesuai jumlah titik penjemputan. Kemudian mendistribusikannya ke titik lokasi berikutnya yang lebih luas menggunakan mobil boks dan ke titik lokasi akhir menggunakan sepeda kargo.
Guna memudahkan mengorganisir kegiatan tersebut, Garten Coop memiliki situs web khusus. Anggota dapat memilih secara langsung di website pada hari apa ia akan menjadi sukarelawan, baik dalam hal membantu di lahan pertanian maupun dalam hal membantu pendistribusian hasil panen.
Konsep Community Supported Agriculture (CSA) dan Swasembada Pangan Lokal di Yogyakarta: Model Lumbung Mataraman
Daerah Istimewa Yogyakarta berupaya memenuhi kebutuhan pangan lokal melalui Lumbung Mataraman. Lumbung Mataraman bukanlah lumbung secara fisik akan tetapi berupa lumbung pangan hidup berbasis dari rumah tangga. Pengelolaan Lumbung Mataraman diserahkan kepada gabungan kelompok tani (gapoktan), kelompok wanita tani (KWT) ataupun unsur-unsur lain di desa tempat Lumbung Mataraman tersebut berada.
Meskipun sama-sama bertujuan memenuhi kebutuhan pangan komunitas atau warga sekitar, organisasi kerja di Lumbung Mataraman masih belum cukup terstruktur sebagaimana pengelolaan Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA). Gapoktan sebagai pengelola Lumbung Mataraman masih belum terlembaga dengan baik.
Petani sendiri masih banyak yang belum dapat keluar dari permasalahan klasik seperti rantai distribusi hasil panen dan harga hasil panen yang masih dikuasai oleh tengkulak. Harga jual hasil panen ditentukan oleh tengkulak dan kurang menguntungkan bagi petani. Sehingga ketika akan memulai menanam kembali, banyak petani yang justru terpaksa memenuhi kebutuhan bibit, pupuk, insektisida maupun fungisida dengan meminjam ke rentenir.
Potensi Pengelolaan Lumbung Mataraman dengan Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA)
Konsep Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA) sangat potensial untuk diterapkan pada pengelolaan Lumbung Mataraman karena petani dan masyarakat yang menjadi anggota dapat terhubung secara langsung. Petani dapat langsung menyalurkan hasil panen ke anggota tanpa harus melalui para tengkulak. Anggota juga mendapatkan hasil panen segar langsung dari petani sehingga distribusi hasil panen menjadi lebih efisien dan harga hasil panen menjadi lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak, tidak lagi dikendalikan oleh tengkulak. Petani dapat menyisihkan keuntungan untuk modal penanaman berikutnya. Tidak berhenti disitu saja, ketika diperoleh keuntungan usaha di Lumbung Mataraman maka keuntungan tersebut dapat dinikmati oleh seluruh anggota koperasi tersebut dalam bentuk sisa hasil usaha.
Hal ini tentunya sesuai dengan cita-cita pengembangan Korporasi Petani. Sebagaimana telah adanya MoU antara Kementerian Koperasi dan UKM RI dengan Kementerian Pertanian RI terkait pengembangan Korporasi Petani Berbasis Koperasi Dalam Rangka Industrialisasi Pertanian. MoU ini telah ditandatangani di acara Rakernas Pembangunan Pertanian Tahun 2020, di Jakarta.
Sejalan dengan hal tersebut, Dinas Koperasi dan UKM DIY terus aktif mengajak dan melakukan pendampingan bagi masyarakat untuk dapat berkoperasi tidak terkecuali bagi kelompok-kelompok pertanian. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah mengubah stigma yang berkembang bahwa selain kelompok petani kurang paham bagaimana berkoperasi, terdapat kekhawatiran pula bahwa ketika kelompok pertanian beralih menjadi koperasi, maka kelompok pertanian ini akan kehilangan akses pendampingan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Padahal dengan menjadi Koperasi, maka kelompok-kelompok pertanian tersebut akan tetapi memiliki akses pembinaan dan fasilitasi dari Dinas Pertanian untuk hal-hal terkait pertanian dan juga akan mendapatkan pembinaan dan fasilitasi dari Dinas Koperasi dan UKM DIY untuk kelembagaan koperasinya.
Model Lumbung Mataraman yang dikelola dalam bentuk Koperasi-Community Supported Agriculture (CSA) ini harapannya dapat terwujud dan menjadi salah satu inovasi yang dapat direplikasi di daerah-daerah lain. Dengan adaptasi yang tepat, model ini dapat membantu masyarakat mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani lokal.
*Penulis merupakan pemenang ketiga Lomba Tulis Artikel yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.