Orang Terkaya Indonesia Berbagi Kekayaan dengan Warga, Tak Ingin Kekayaan Sendirian

by -19 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Tidak ada gunanya memiliki banyak harta, jika masyarakat di sekitarnya masih terjerat dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Atas dasar ini, salah satu tuan tanah dan orang terkaya Indonesia pada abad ke-20, yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha, memilih untuk mengalokasikan uang pribadinya untuk kepentingan masyarakat.

Bagaimana kisahnya?

Sebagai informasi, Bosscha adalah pemilik perkebunan teh di wilayah Priangan, Garut, dan Sukabumi. Sejarawan Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2006) menyebutkan, pada abad ke-20, dia dijuluki sebagai raja teh dan salah satu orang terkaya di Indonesia (saat itu Hindia Belanda) karena kesuksesan industri tehnya.

Diketahui bahwa seluruh teh dari perusahaan Bosscha berhasil terjual dengan harga tinggi dan menembus pasar Eropa dan China. Akibatnya, dia mendapatkan keuntungan yang besar. Meskipun begitu, kekayaannya tidak membuat Bosscha terbuai. Dia menggunakan kekayaannya sebagai katalisator untuk mengentaskan kemiskinan.

Pria yang lahir pada tahun 1865 itu tercatat dalam sejarah sebagai sosok yang sangat humanis. Jika kita membayangkan orang Belanda yang kejam dan suka menindas penduduk pribumi, maka hal itu tidak berlaku untuk Bosscha. Dia menjadi sosok langka karena sangat peduli terhadap penduduk pribumi.

Sikap baik hati Bosscha muncul karena dia merasa bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda kurang dirasakan oleh penduduk. Pada saat itu, di awal abad ke-20, pemerintah memberlakukan Politik Etis atau politik balas budi untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi.

Politik Etis tersebut berfokus pada tiga sektor, yaitu pendidikan, transmigrasi, dan irigasi. Namun, semuanya tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, Bosscha dengan sukarela mengalokasikan uangnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Keputusan untuk membagikan harta tersebut berjalan lancar karena dia hidup seorang diri. Bosscha tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak sepanjang hidupnya. Sehingga tidak ada hambatan yang signifikan.

Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters (2014) menjelaskan bahwa Bosscha pertama-tama aktif mendirikan sekolah. Dia membangun Sekolah Dasar Vervoolgschool untuk anak petani di perkebunan. Selain itu, dia juga membantu pembangunan universitas di Bandung, yaitu kampus Technische Hoogeschool te Bandoeng yang kini menjadi ITB.

Hal serupa juga dilakukan dalam bidang kesehatan. Bosscha memberikan tanah gratis seluas 25.000 m2 dan uang sebesar 200 ribu gulden untuk pembangunan Lembaga Kanker di Bandung agar penduduk tidak menderita. Selain itu, dia juga membantu membangun lembaga untuk penyandang buta dan tuli.

Kebaikan ini juga termasuk dalam kesediaan membangun jalan, rumah, dan infrastruktur lainnya untuk penduduk pribumi. Selain bidang kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur, Bosscha juga turut serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang astronomi.

Pada sekitar tahun 1920-an, dia rela mengeluarkan biaya yang besar untuk mendirikan observatorium di Gunung Tangkuban Perahu. Dia membeli teropong besar yang sangat mahal dari Eropa dan membawanya naik-turun bukit untuk melakukan observasi bintang.

Berkat kebaikan hati dan sumbangan besarannya, pemerintah Bandung memberikan penghargaan kepada Bosscha sebagai warga utama. Namun, sayangnya setelah menerima penghargaan tersebut, Bosscha terkena serangan jantung dan meninggal secara tiba-tiba. Saat wafat pada tanggal 26 November 1928, banyak orang yang meratapi kepergiannya dan mengantarkan jasad Bosscha hingga dimakamkan.

Bosscha tidak pernah menikah dan tidak memiliki anak, sehingga seluruh asetnya diambil alih oleh pemerintah kolonial. Namun, setelah kemerdekaan pada tahun 1945, aset warisan tersebut dikendalikan oleh pemerintah Indonesia.

(mfa)