Di tengah cerita kehidupan para raja yang sering dikaitkan dengan kemewahan dan pesta pora, Sisingamangaraja memilih untuk berbeda. Sebagai penguasa Tanah Batak selama 12 generasi, dia dikenal sebagai salah satu tokoh paling kaya dalam sejarah Nusantara. Namun, bukannya hidup dalam kemewahan, Sisingamangaraja dan leluhurnya lebih suka menabung emas dan perhiasan. Kisah mereka berakhir 118 tahun yang lalu, pada tanggal 17 Juni 1907, ketika raja terakhir dari trah Sisingamangaraja, Sisingamangaraja XII, gugur setelah bertempur melawan penjajah Belanda.
Sumber kekayaan Sisingamangaraja berasal dari kapur barus, sebuah komoditas langka yang menjadi andalan Tanah Batak. Dengan menguasai perdagangan kapur barus ini, kerajaan menjadi sangat kaya. Namun menurut penulis Augustin Sibarani, kekayaan ini tidak pernah digunakan untuk gaya hidup mewah. Sejak generasi pertama hingga ke-12, para raja Sisingamangaraja memilih untuk menabung emas, intan, dan batu mulia.
Pada tahun 1818, serangan dari Gerakan Padri mengungkap seberapa besar tabungan emas yang dimiliki oleh Sisingamangaraja. Para penyerang berhasil mengambil semua perhiasan dan emas yang dimiliki kerajaan, yang kemudian diangkut dengan 17 kuda. Total emas yang diangkut mencapai 1 ton, dengan nilai yang sangat fantastis. Meskipun sebagian harta kekayaan diselamatkan oleh keluarga Sisingamangaraja, namun semua harta tersebut akhirnya hilang setelah kerajaan berakhir.
Setelah eksistensi Kerajaan Tapanuli dan trah Sisingamangaraja berakhir, banyak bagian dari kekayaan kerajaan raib. Sebagian dijarah oleh kolonial Belanda, sebagian dijual oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Bahkan ada kabar bahwa sebagian perhiasan kerajaan Batak sampai ke tangan Ratu Victoria di Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan serta warisan budaya dapat tersebar ke berbagai tempat yang tak terduga.