Di ambang kiamat minyak, situasi global tegang menyusul ancaman Iran untuk menutup Selat Hormuz, yang merupakan jalur perdagangan minyak penting. Hal ini dipicu oleh serangan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap tiga lokasi yang disebut sebagai fasilitas nuklir Iran. Ancaman ini mengingatkan pada masa lalu ketika AS terlibat dalam skenario kudeta terhadap Perdana Menteri Iran, Mohammad Mossadegh, pada tahun 1953.
Pada masa itu, Mossadegh terpilih sebagai Perdana Menteri Iran dan mendukung ide nasionalisasi industri minyak sebagai upaya untuk melindungi kedaulatan politik dan ekonomi negaranya. Langkah ini membuat Inggris dan perusahaan Barat panik, mengingat Iran memiliki kekayaan alam yang signifikan, termasuk sebagai eksportir minyak terbesar kedua di dunia.
Inggris mengambil tindakan tegas dengan embargo minyak dan tindakan lainnya, sementara CIA dan MI6 melancarkan operasi rahasia Ajax untuk menggulingkan Mossadegh. Dengan menggelontorkan dana dan menciptakan kerusuhan massa, Mossadegh akhirnya digulingkan dan Iran kembali membuka kerja sama dengan Inggris dalam sektor minyak.
Hasilnya, usaha nasionalisasi minyak demi kesejahteraan rakyat Iran gagal, dan kekayaan alam negara itu kembali jatuh ke tangan asing. Mossadegh sendiri menghabiskan sisa hidupnya sebagai tahanan rumah dan dicap sebagai pengkhianat. Baru pada 1979, nama baiknya mulai dipulihkan setelah Republik Islam Iran berdiri.
Keterlibatan Barat dalam kudeta Iran tahun 1953 baru diungkap secara resmi pada 2019, setelah puluhan tahun disembunyikan. Persoalan ini menunjukkan pentingnya memahami sejarah untuk mencari pemahaman tentang kondisi saat ini.