Setiap tanggal 16 Oktober, seluruh dunia merayakan Hari Pangan Sedunia atau World Food Day. Peringatan kali ini mengusung tema “Hand in Hand for Better Foods and a Better Future” dengan harapan mendorong kolaborasi untuk menciptakan masa depan yang damai, berkelanjutan, sejahtera, dan berketahanan pangan. Salah satu contoh pangan lokal Indonesia yang telah lama memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan dunia adalah tempe. Makanan sederhana ini, yang terbuat dari kedelai, populer di seluruh dunia karena dianggap sebagai solusi untuk masalah pangan dan dianggap sebagai superfood yang kaya gizi.
Dalam sejarahnya, tempe terkait erat dengan kedelai. Kedelai diperkenalkan ke Indonesia oleh pedagang Tionghoa dan sudah dikenal di kepulauan Nusantara sejak sebelum abad ke-10. Dari kedelai ini, masyarakat mulai mengenal tempe bersama dengan tahu. Tahu telah disebut dalam Prasasti Watukura di Jawa Timur pada tahun 902 Masehi, sementara tempe baru muncul berabad-abad kemudian dan tercatat dalam Serat Centhini pada abad ke-16.
Kata “tempe” pertama kali muncul dalam Serat Centhini, menunjukkan bahwa tempe berasal dari Jawa Tengah dan bukan dari China. Tempe menjadi alternatif protein nabati yang menggantikan daging pada abad ke-19. Dua kemungkinan teknik pembuatan tempe adalah dari ampas kelapa setelah diolah untuk bongkrek, atau melalui inokulasi kulit kedelai dengan bakteri atau jamur yang mungkin berasal dari orang Tionghoa. Dari sinilah, tempe mulai populer di Indonesia dan di Eropa sebagai makanan yang murah dan bergizi tinggi.
Tempe semakin populer di dunia sejak masa kolonialisme, ketika para peneliti Belanda mulai mempublikasikan penelitian tentang tempe sejak tahun 1875. Produksi tempe secara komersial di Eropa baru berjalan beberapa dekade setelahnya, antara tahun 1946-1959. Di Amerika Serikat, tempe semakin diterima berkat penelitian para ahli mikrobiologi dan ilmuwan pangan di berbagai lembaga penelitian. Tempe terbukti memiliki kandungan gizi luar biasa, sehingga menjadi makanan populer di Barat terutama di kalangan vegetarian.
Pada masa pemerintahan Presiden AS Jimmy Carter, tempe dianggap sebagai sumber protein nabati murah dan berkelanjutan yang dapat membantu mengatasi krisis pangan global. Tempe kemudian diproduksi dan dikonsumsi luas di berbagai negara di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Afrika, dan Amerika Latin, menunjukkan tingginya permintaan akan makanan yang berkualitas dan bergizi seperti tempe.





