Krisis demografi di Jepang telah membawa dampak baru yang mengguncang pasar ekuitas swasta di negara tersebut. Masalah suksesi di perusahaan keluarga Jepang telah mendorong lonjakan aktivitas dalam sektor Private Equity (PE) yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak pemilik bisnis yang menua menghadapi masalah ketidakmampuan ahli waris untuk meneruskan kepemilikan, sehingga banyak di antara mereka akhirnya menjual perusahaan kepada PE dan investor asing. Tingginya tarif pajak warisan yang bisa mencapai 55% semakin memperumit situasi ini.
Data dari CNBC International menunjukkan bahwa lebih dari 65% dari kesepakatan buyout kini berasal dari kasus suksesi di perusahaan keluarga. Hal ini menandakan adanya pergeseran budaya di Jepang terkait penjualan bisnis, di mana sebelumnya pemilik cenderung enggan menjualnya ke pihak eksternal. Namun, saat ini semakin banyak pemilik yang melihat ekuitas swasta sebagai opsi yang menarik, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menjual kepada investor asing.
Faktor internal budaya dan demografi tidaklah menjadi satu-satunya pemicu dari pertumbuhan ekuitas swasta di Jepang. Faktor regulasi dan kondisi ekonomi makro juga turut memainkan peran penting dalam mendukung pertumbuhan sektor ini. Reformasi pemerintah Jepang, serta kondisi ekonomi makro seperti kelemahan nilai tukar Yen dan suku bunga rendah, semakin mendorong minat para pemilik bisnis untuk melibatkan PE dalam perusahaan mereka.
Meskipun pertumbuhan ekuitas swasta di Jepang terbilang luar biasa, para ahli juga memperingatkan adanya kekhawatiran akan kemungkinan overheating di pasar ini. Masuknya modal yang signifikan, terutama dari luar negeri, dapat menyebabkan penilaian yang terlalu tinggi dalam valuasi perusahaan (inflated valuations). Meskipun demikian, investasi dalam sektor ekuitas swasta masih menjadi bagian kecil dari Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa.





