Cinta pada pandangan pertama seringkali dianggap sebagai momen yang magis, di mana dua orang asing merasa seolah-olah terikat satu sama lain di tengah keramaian. Tetapi, apakah benar cinta bisa datang begitu cepat atau murni sebuah ilusi? Menurut para ahli, fenomena cinta pada pandangan pertama sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ketertarikan intens pada pandangan pertama. Hal ini dipicu oleh lonjakan hormon seperti dopamin, norepinefrin, dan kortisol yang memunculkan perasaan senang dan semangat.
Setelah sensasi pertama hilang, cinta sejati membutuhkan kerja sama, komitmen, dan komunikasi yang kuat untuk berkembang. Psikolog klinis Kristen Roye mengungkapkan bahwa meskipun getaran pertama tersebut dapat membawa ke kesenangan dan rasa aman awal, cinta yang benar-benar bertahan akan tumbuh perlahan seiring waktu. Kesiapan dari kedua pihak, gaya komunikasi, dan pola keterikatan emosional juga mempengaruhi perkembangan hubungan tersebut.
Faktor biologis juga turut berperan dalam cinta pada pandangan pertama. Menurut profesor William A. Haseltine, otak kita, terutama di area dorsomedial prefrontal cortex, memiliki peran penting dalam menilai daya tarik dan koneksi dengan pasangan potensial. Bagian otak lainnya memproses tanda-tanda universal dan preferensi pribadi yang memicu ketertarikan, mulai dari ekspresi wajah hingga kesan kepribadian.
Meskipun cinta pertama biasanya dipicu oleh ketertarikan fisik, ada juga faktor lain yang memengaruhi. Selera pribadi, gaya bicara, atau keunikan seseorang juga dapat membuat satu orang terasa istimewa. Hal ini menunjukkan bahwa cinta pada pandangan pertama bukan hanya mengenai aspek fisik semata, tetapi juga tumpang tindih antara biologi dan preferensi pribadi. Setiap orang memiliki tipe yang berbeda, dan tidak ada rumus pasti yang dapat menjelaskan semuanya.
