Ayah Sebagai Tukang Kayu, Kisah Berat Angga Sasongko dalam Membangun Karirnya

by -43 Views

Sutradara Angga Dwimas Sasongko menyebut perjalanan kreativitas adalah perjalanan sepi. Sutradara film-film terkenal seperti “Filosofi Kopi” dan “Mencuri Raden Saleh” itu menyebut karir perfilmannya yang sudah selama 20 tahun terasa sebagai perjalanan yang sepi.

Menurut Angga, selama berkarya ia kerap kali merasa menjadi “outsider” atau “orang gila” yang sendirian karena merasa orang-orang tidak mengapresiasi karyanya. Bahkan, ia mengaku film terakhirnya “Heartbreak Motel” yang digarap dengan cara yang lebih maju, tidak meraup penonton yang banyak.

Meskipun begitu, Founder Visinema Pictures itu mengatakan sejauh apa karirnya melampaui, menjadi lebih penting daripada pasar yang menerima karyanya. Ia menggambarkan, perjalanan kreativitas itu seperti marathon.

“Untuk tahu di mana batasan kita, di mana hari ini kita paling mampu sejauh apa, itu bukan tentang marketnya, tapi tentang kitanya sebagai creator. Apakah kita merasa kita sampai di edge dan melihat ujung yang baru, itu yang lebih penting bagaimana market menerima. Karena pada akhirnya, karena ini perjalanan, semua yang kita lalui itu marathon,” ujar Angga di Pertamina Creativepreneur Summit 2024 di JCC Senayan, Sabtu (24/8/2024).

Ia meyakini dalam perjalanan kreativitas akan ada saatnya melihat kembali trauma masa lalu, dan kemudian masuk ke “limbo.” Tapi itu merupakan proses panjang pencarian jati diri yang akan dicerminkan dalam karya.

Angga menceritakan pengalamannya membangun Visinema Pictures di usia 23 tahun pada tahun 2008, saat industri film masih sangat “toxic” dan ekslusif. Ia menyebut produksi film saat itu susah, dan ia mengalami diskriminasi oleh para sineas.

Dari situlah ia memutuskan untuk mendirikan rumah produksinya sendiri, hanya dengan modal dua meja kayu dari toko kerajinan ayahnya. Angga berkelakar dirinya mirip dengan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep, sama-sama memiliki ayah yang bekerja sebagai tukang kayu.

“Bapak saya nggak jadi presiden aja, sehingga bisa nyariin saya kerjaan. Tapi bapak saya cuma mampu kasih saya dua meja kayu,” ucap Angga yang direspon dengan tepuk tangan para penonton.

Tak tanggung-tanggung, ia juga menggunakan baju “Peringatan Darurat” seiring dengan masifnya gerakan protes dari masyarakat di beberapa kota terkait darurat demokrasi di Indonesia.