Awal RI Mulai Meningkatkan Produksi Beras Seperti Diperintahkan Soeharto saat Zaman Mataram

by -83 Views

Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada nasi. Apapun hidangannya tak lengkap apabila belum menelan nasi. Dalam situasi naiknya harga beras seperti sekarang, tetap saja masyarakat bakal membelinya karena sudah punya ketergantungan. Atas dasar ini, pemerintah banyak membuat kebijakan ihwal intervensi harga beras, sehingga ketersediaan beras punya dimensi politik sendiri. Soal beras dan kaitan dengan dimensi politik juga pernah terjadi di masa lampau, tepatnya saat Kerajaan Mataram eksis di abad ke-8 sampai ke-10 Masehi. Dalam Babad Tanah Jawi (1939) dijelaskan, Raja Mataram menyadari beras sangat menentukan stabilitas politik dan kekuasaan. Jika ada masalah terkait beras, pasti akan berimbas pada kekuasaan.

Namun, apabila beras dapat diakses secara mudah dan murah, maka rakyat akan memberi sanjungan kepada raja karena berhasil mencukupi beras. Atas dasar ini, ada pandangan dalam masyarakat Jawa Kuno, apabila persediaan beras di rumah banyak, maka pikiran orang akan tenteram. Alhasil, kerajaan yang berada di wilayah Jawa Tengah itu banyak melakukan ekstensifikasi atau perluasan penanaman padi. Terlebih, saat itu padi memang tumbuh subur di sana. Ketika padi sudah mencapai waktu panen, seluruh beras yang dihasilkan akan diberikan kepada seluruh masyarakat, baik itu di perkotaan hingga pelabuhan. Alhasil, perut rakyat kenyang dan kekuasaan raja aman.

Di masa modern, cara yang dilakukan Kerajaan Mataram tersebut ditiru oleh Presiden Soeharto sejak 1968. Ahmad Arif dalam Sagu Papua Untuk Dunia (2019) menjelaskan sebagai orang Jawa, Soeharto terinspirasi para penguasa Kerajaan Mataram Kuno yang menjadikan beras sebagai ukuran kemakmuran dan stabilitas. Saat itu adopsi Soeharto itu tertuang dalam kebijakan Revolusi Hijau. Lewat Revolusi Hijau, Soeharto ingin menyeragamkan konsumsi pangan masyarakat menjadi seluruhnya beras. Di Indonesia Timur yang lazim mengonsumsi sagu dan jagung pun ikut diubah menjadi beras. Meski stabilitas dapat dikejar lewat ekstensifikasi beras, muncul dampak negatifnya, yakni hilangnya ragam pangan lokal karena tergantikan beras. Akibatnya, ketika harga beras melonjak, mereka kesulitan mengaksesnya.