Denpasar – Publik menilai bahwa dakwaan yang diajukan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali dalam proses hukum terhadap Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof Gde Antara sangat ganjil. Hal ini mengusik hati nurani beberapa tokoh praktisi hukum dan masyarakat karena adanya kosmologi negatif dalam dunia pendidikan dalam kasus ini. Terlebih lagi, beredar kabar bahwa ada politik internal di Unud sendiri dan pembuktian terkesan dipaksakan. Saksi-saksi yang dihadirkan hanya membahas kesalahan administrasi dan bukan jumlah kerugian negara.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Dr. Dewa Gede Palguna, S.H, MHum menyatakan bahwa status tersangka Rektor Unud telah menggugurkan 5 lembaga atau instansi sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak ada masalah terkait keuangan di kampus Unud. “Mengapa objek yang sama dapat diselidiki oleh banyak pihak tetapi menghasilkan kesimpulan yang berbeda? Pasti ada yang salah. Misalnya, jika terdapat dua orang yang memberikan keterangan berbeda terhadap suatu fakta, salah satunya pasti berbohong. Inilah yang harus dibuktikan oleh hukum,” kata Dewa Palguna kepada wartawan. Ia juga menegaskan bahwa audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia, Inspektorat Dikti, Satuan Pengawas Internal, dan Akuntan Publik diabaikan oleh Kejati Bali. Untuk mengembalikan kasus ini pada prosedur yang benar, ia mengajak semua pihak untuk mengutamakan prinsip praduga tak bersalah. “Sebagai orang Unud, saya juga memiliki kepentingan. Saya bukan membela kesalahan, tetapi menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah, presumption of innocence, yang penting bagi saya agar masyarakat juga memahaminya,” tegas Palguna.
Pengacara terkenal Hotman Paris Hutapea, yang juga menjadi Penasihat Hukum (PH) Prof. Gde Antara, mengaku tidak bisa memahami bagaimana dalam kasus korupsi tidak ada aliran dana ke rekening pribadi, tetapi malah dijadikan terdakwa. Pernyataan Hotman ini sejalan dengan hasil audit dari lembaga auditor kredibel seperti BPKP dan BPK. Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) juga dianggap sebagai dakwaan teraneh dalam sejarah peradilan di Indonesia. “Lihatlah dalam kasus ini apakah ada politik internal. Bagaimana mungkin dalam kasus korupsi tidak ada satu perak pun yang masuk ke rekening pribadi Prof. Antara sehingga dia menjadi terdakwa,” ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Denpasar. Ia juga menambahkan bahwa tidak ada kerugian negara yang terjadi dalam kasus ini. Malahan, semua dana SPI masuk ke rekening Unud. “Dalam kasus korupsi, harus ada pihak yang dirugikan. Semua dana SPI masuk ke rekening Unud, jadi di mana letak korupsi dan kerugian negaranya,” jelas Hotman.
Motif korupsi dalam kasus ini diduga tidak jelas, karena tidak ada satu pun keterangan saksi yang mengarah pada keuntungan pribadi terdakwa dan merugikan keuangan negara dalam persidangan lanjutan dakwaan korupsi SPI Unud yang menyeret Rektor Unud Prof. Antara dan lainnya. Fakta persidangan secara menyeluruh hanya berkutat pada kesalahan administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang justru menguntungkan Unud. Kesalahan administrasi dan korupsi adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya dapat menyebabkan masalah dalam pemerintahan dan lembaga. I Wayan Purwita, pengacara salah satu terdakwa, Nyoman Putra Sastra, menjelaskan bahwa dari kesaksian Wakil Rektor II yang dihadirkan, mereka tidak menemukan adanya keuntungan yang diperoleh oleh kliennya. Mereka juga sudah menanyakan apakah audit telah dilakukan setiap tahun terkait dana SPI. “Saksi menyatakan bahwa telah dilakukan audit baik internal maupun dari BPKP. Jadi, tidak ada aliran dana ke klien kami atau keluarganya,” ungkap Wayan Purwita kepada wartawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar. Terkait dakwaan pemalsuan, Wayan Purwita menjelaskan bahwa Unit Sumber Daya Informasi (USDI) hanya bertugas menginput data dan semua atas arahan pimpinan. Dalam hal ini, tidak ada niatan untuk melakukan pemalsuan secara sadar. Wayan Purwita juga menekankan bahwa tidak ada kerugian negara yang terjadi. Menurutnya, semua tindakan yang dilakukan telah sesuai dengan Peraturan Menteri Ristek Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No 39 tahun 2017 dan Permendikbud No 25 tahun 2020. “Klien kami tidak terkait dengan aliran dana SPI. Dalam kasus korupsi, harus ada kerugian negara dan penerimaan yang melanggar hukum. Namun, itu tidak ditemukan dalam kasus ini,” tegas Wayan Purwita.
Kasipenkum Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana, mengatakan bahwa jika pengacara Rektor Unud nonaktif, Prof Nyoman Gde Antara, Hotman Paris Hutapea, ingin membela kliennya, maka ia harus melakukannya di persidangan dan bukan di media sosial. “Perkara sudah berjalan di persidangan, harapannya adalah pembelaan dilakukan di sidang bukan di media sosial. Kita akan melihat perkembangan selanjutnya,” tulis Sumedana melalui pesan WhatsApp.