Terungkap Awal Asal-Usul Pembelian Baju Lebaran oleh Warga Indonesia, Menyebabkan ‘Bencana Ekonomi’

by -134 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Saat menyambut lebaran orang Indonesia sering membeli baju baru untuk dipakai di hari raya. Namun, tahukah Anda sejak kapan kebiasaan ini berlangsung?

CNBC Indonesia melakukan penelusuran dan membuktikan bahwa ini bukan kebiasaan kontemporer, melainkan sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Hal ini dibuktikan berdasarkan pengamatan empiris Snouck Hurgronje atau Haji Abdul Gaffur (1857-1936).

Perlu diketahui, Snouck adalah seorang agnostik dan akademisi Belanda yang tertarik dengan dunia Islam. Pada 1885, dia berhasil masuk ke Mekkah dan tinggal selama enam bulan hanya untuk mendalami Islam.

Setelahnya, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Aceh untuk mengamati rakyat di sana. Selama di Aceh, Snouck sukses menulis buku De Atjeher yang sangat bermanfaat bagi pemerintah kolonial mengatasi gejolak perlawanan masyarakat Aceh.

Salah satu yang disorotinya saat di Aceh adalah kebiasaan warga membeli baju baru ketika lebaran. Dalam Aceh di Mata Kolonialis (1906), Snouck bercerita kalau pasar penjualan baju dan barang sejenis di akhir masa puasa jauh lebih dipadati warga dibanding penjualan daging atau hewan.

Hal ini bisa terjadi, kata Snouck, karena setiap orang ingin berbaju baru pada hari raya. Pasalnya, dalam budaya Aceh, kasih sayang atau penghargaan suami ke anak atau istri diukur dari barang belanja dari pasar, mulai dari daging hingga baju baru.

Namun, sebelum mengenakan baju baru, ada satu syarat dahulu yang harus dilaksanakan warga, yakni membayar zakat fitrah. Barulah setelah menunaikan kewajiban agama tersebut, warga memakai baju baru saat lebaran tiba.

“Sesudah membayar fitrah, mereka mengenakan pakaian baru […] dan kemudian melakukan kunjungan untuk mengucapkan selamat,” tulis Snouck.

Selain di Aceh, pria kelahiran 1857 itu juga mengamati ada kejadian serupa di Batavia (kini Jakarta). Dalam surat kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri tanggal 20 April 1904, Snouck menulis bahwa saat lebaran terdapat banyak pesta yang disertai hidangan makanan khas lebaran, silaturahmi ke kerabat, pembelian pakaian baru, dan hiburan.

Bahkan, Snouck juga mencatat, pembelian pakaian baru, petasan dan makanan bisa memakan uang lebih banyak dibanding hari biasanya. Hal ini bisa terjadi karena warga menganggap lebaran sebagai hari yang istimewa.

“Di antara hari-hari peringatan yang sekali setahun berulang dan yang bagi seluruh penduduk berlaku demikian, Lebaran yang mengakhiri ibadah puasalah yang paling terkemuka, dan itu tak dapat dibantah,” tulis Snouck, dikutip dari Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Jilid IV (1991).

Atas dasar ini, banyak pejabat kolonial yang menganggap perayaan lebaran sebagai pemborosan dan mendesak peniadaan perayaan lebaran. Bahkan, menyebutnya sebagai bencana ekonomi.

Namun, Snouck mengatakan desakan itu tak perlu terwujud dan sebutan lebaran sebagai bencana ekonomi berlebihan. Sebab, perayaan lebaran sudah menjadi kebiasaan umat Muslim di Indonesia. Pada akhirnya, pernyataan Snouck itu terbukti: lebaran dan berbagai kebiasaan yang mengikuti, termasuk beli baju baru, tetap berlangsung hingga sekarang.

[Gambas:Video CNBC]

(mfa/sef)