Satpam dianggap remeh, berbalas dendam dengan memiliki emas dan menguasai tanah di Jakarta

by -87 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Profesi satpam terkadang dianggap sebelah mata oleh banyak orang. Hal ini juga terjadi pada Leendert Miero, satpam di kawasan Batavia (kini Jakarta). Selama menjadi satpam, dia sering diremehkan dan dianiaya.

Di tengah jalan, dia bertekad balas dendam kepada orang yang melakukan perundungan kepadanya. Balas dendam ini kemudian membuahkan hasil hingga memiliki batangan emas dan puluhan hektar tanah di Jakarta. Bagaimana ceritanya?

Satpam yang Teraniaya

Leendert Miero memiliki nama asli Jehoeve Leip Benjegiehel Snijder. Dia adalah orang Yahudi dari wilayah Rusia yang tiba di Hindia Belanda pada tahun 1775. Kedatangannya di Hindia Belanda untuk menjalani tugas sebagai tentara VOC.

Selama bertahun-tahun bertugas, kesehariannya Miero hanya menjaga keamanan alias satpam. Tak lebih dari itu. Namun, pada suatu hari di tahun 1778, Miero yang sedang bertugas melakukan kesalahan fatal. Kesalahan itu terjadi karena dia, yang ditugasi menjaga rumah besar nan mewah milik pejabat VOC bernama Reiner de Klerk, malah tertidur pulas.

Tak terima satpamnya melakukan kesalahan, Reiner marah dan memukuli Meiro sebanyak 50 kali. Akibatnya, Meiro pun mengerang kesakitan. Di keadaan seperti inilah, dia lantas mengeluarkan sumpah serapah dari mulutnya:

“Demi nenek moyang Abraham, Ishak dan Yakub, suatu hari saya bakal beli seluruh rumah dan tanah ini!”

Saat sumpah itu keluar dari mulutnya, teman-teman tentara Miero malah menertawakan. Mereka berpikir tak mungkin Miero yang hanya satpam bisa sekaya majikannya di masa depan. Perundungan ini terus berlangsung hingga menyerempet kepada identitas Miero sebagai Yahudi yang dianggap berasal dari bangsa rendahan.

Mendengar itu, dia makin jengkel dan punya tekad kuat untuk balas dendam.

“Antisemitisme oleh kawan-kawan sesama militer yang ditimpakan pada Jehoede (Red, Miero) telah mengantarkannya pada tekad bahwa anak-anaknya kelak mestilah jauh dari serangan ideologi yang penuh kebencian itu,” tulis Romi Zaman dalam Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861-1942) (2018).

Balas Dendam

Sebagaimana dipaparkan Herald van de Linde dalam Jakarta: History of Misunderstood City (2020), untuk mengejar sumpahnya itu dia pun langsung mengundurkan diri sebagai tentara dan beralih profesi sebagai pengusaha. Sebab, profesi ini jadi satu-satunya cara terbaik untuk meraih kekayaan.

Sejak itu, dia lantas berdagang emas dan membuka lapak di dekat Glodok. Selain itu, dia juga menjalani hidup menjadi rentenir. Layaknya orang Yahudi lain, dia juga punya tekad kuat untuk mencapai mimpinya. Tak peduli apapun rintangannya, dia tetap bekerja. Sampai akhirnya, dia pun menjadi kaya raya berkat konsisten jualan emas.

Menurut Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta (2016) keberhasilan memiliki banyak uang membuat Meiro mampu membeli apa yang diinginkan. Dari mulai kepemilikan atas batangan emas-berlian, tanah hingga properti, termasuk rumah yang disebut dalam sumpahnya itu.

Ketika Meiro sudah sukses jadi juragan emas, si majikan yang memukulinya sudah wafat. Hanya ada istrinya saja. Alhasil, tanpa basa-basi Meiro pun segera balas dendam. Dia membeli seluruh rumah milik bekas majikannya pada 1818 dan memulai hidup sebagai crazy rich Batavia.

“Saat menguasai rumah tersebut, Meiro kerap mengadakan pesta besar tepat di hari dia menerima cambuk sebagai perayaan peringatan,” tulis Herald van de Linde.

Belakangan, selain memiliki rumah itu, pria kelahiran 22 April 1755 ini juga membeli rumah dan tanah super luas berlokasi 25 Km di selatan Batavia milik pejabat Belanda. Di tanah itu dia memiliki rumah super besar yang sering disebut orang-orang sebagai ‘Pondok Gede’. Rumah Pondok Gede itu membuatnya dikenal sebagai juragan tanah dan emas.

Perjalanan hidup Meiro harus berakhir pada 10 Mei 1834. Seluruh hartanya lantas dipegang oleh anak-anaknya. Kini, tanah dan rumah yang dulu ditempati oleh Meiro berubah menjadi kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur.