Anak Raja di Jawa Menolak Pemimpin, Memilih Untuk Melakukan Tindakan Ini & Menjadi ‘Pahlawan’

by -71 Views

Kebingungan Kuasa: Kisah Gayatri Rajapatni, Arsitek Majapahit

Jakarta, CNBC Indonesia – Nafsu akan kekuasaan selalu ada di setiap manusia. Tak heran, orang sering berlomba-lomba berebut kekuasaan. Namun, kisah dari anak dan istri Raja Jawa bernama Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajassa bisa menjadi teladan.

Alih-alih berkuasa, sekalipun sudah diberi pintu masuk, Gayatri lebih memilih berada di balik layar kerajaan. Di posisi ini, dia kemudian menjadi arsitek berbagai kebijakan hingga membuat kerajaan makin berjaya.

Bagaimana ceritanya?
Sejak lahir pada 1274, Gayatri sudah paham dengan hiruk pikuk sistem kerajaan. Fakta ini tak terlepas dari posisi Gayatri sendiri.
Sejarawan Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit (2012) menceritakan, Gayatri merupakan putri ke-4 Raja Jawa dari Kerajaan Singasari, Kertanegara (1268-1292). Dia dikenal sebagai sosok pintar sebab menguasai ilmu tata negara, politik hingga agama.

Tak hanya putri raja, Gayatri kemudian juga menyandang status sebagai istri raja. Status ini diperoleh karena dia menikah dengan Raja Jawa Raden Wijaya, sang pendiri Kerajaan Majapahit (1293-1309). Pernikahan dengan Raden Wijaya terjadi setelah muncul tragedi kelam: keruntuhan Kerajaan Singasari dan pembunuhan sang Ayah Kertanegara di tangan Jayakatwang pada 1292.

Earl Drake menceritakan, berbagai dinamika politik telah menempa diri Gayatri menjadi perempuan pemberani, setia, cerdas, dan penuh kasih sayang. Dalam catatan yang diuraikan Prasetya Ramadhan di Jejak-Jejak Peradaban Majapahit (2020), semua itu kemudian terlihat saat dirinya menjadi arsitek berbagai kebijakan selama Majapahit eksis.

Ketika menjadi pendamping Raden Wijaya, Gayatri selalu menasehati dan menjadi rekan diskusi sang raja. Salah satu nasehat Gayatri yang paling terkenal adalah ihwal penyatuan Nusantara. Dia ingin seluruh Nusantara berada di bawah bendera Majapahit.

Menolak Berkuasa
Singkat cerita, dinamika Majapahit membuat Gayatri hampir menjadi orang nomor satu. Sekitar 1328, kursi kepemimpinan Majapahit kosong sepeninggal wafatnya Jayanegara. Banyak orang meminta Gayatri sebagai penguasa sebab hanya dia satu-satunya sesepuh Majapahit. Terlebih, dia juga masih keturunan Singasari dan istri dari pendiri kerajaan, Raden Wijaya.

Namun, kesempatan emas tersebut ditolak Gayatri. Earl Drake mencatat penolakan didasari karena Gayatri sudah menjalani hidup sebagai bhiksuni atau orang yang mendalami agama Buddha. Maka, takhta Majapahit pun jatuh ke tangan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Meski begitu, Gayatri tetap memainkan peran kerajaan di balik layar. Dia menjadi penasehat penguasa. Beberapa tahun kemudian, nasihat penyatuan Nusantara dilaksanakan oleh orang kepercayaan Gayatri bernama Gajah Mada yang kemudian diangkat sebagai mahapatih.

Dari sini, sejarah mencatat lahirnya Sumpah Palapa untuk menyatukan Nusantara yang sebenarnya sesuai amanat dan cita-cita dari Gayatri. Dalam upacara pengangkatannya sebagai mahapatih itu, Gajah Mada berikrar tidak akan menikmati kesenangan duniawi sebelum mampu menyatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Kiprah Gayatri berakhir pada 1350. Ketika wafat, Earl Drake mencatat banyak orang yang menghormati kepergiannya. Dia pun kemudian tercatat dalam sejarah sebagai sosok besar yang membantu eksistensi Majapahit.