Pada Kamis (30/10/2025), Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bertemu Presiden China Xi Jinping untuk melakukan dialog terkait eskalasi hubungan kedua negara di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) Korea Selatan. Pertemuan ini menjadi babak baru dalam hubungan panjang kedua negara yang sudah terjalin selama 46 tahun. Namun, di antara perjalanan itu, ada satu titik kelam yang sulit dilupakan oleh Beijing, yakni insiden pada 7 Mei 1999.
Pada tahun 1999, di Serbia, perang antara pasukan Serbia dan warga Albania-Kosovo membuat situasinya sangat tegang. Di tengah ketegangan itu, seorang warga lokal bernama Vlada mencoba menjalani hidupnya sebisa mungkin, meski terdengar suara dentuman bom setiap hari. Namun, pada malam 7 Mei 1999, keyakinannya runtuh saat kedutaan besar China di Beograd dihantam oleh bom dari pesawat jet AS yang salah sasaran, mengakibatkan tiga warga negara China tewas dan 27 lainnya luka-luka.
Konsekuensi dari serangan tersebut sangat besar, dengan ribuan warga China demo dan melakukan perusakan di depan kedubes AS dan Inggris di Beijing. Jiang Zemin, Presiden China saat itu, mengecam serangan itu sebagai biadab. Di sisi lain, negara-negara NATO menolak disalahkan dan menyatakan serangan berasal dari militer AS. Akhirnya, di bawah tekanan internasional, AS meminta maaf atas kesalahan yang terjadi dan memberikan kompensasi kepada korban.
Meskipun permintaan maaf sudah disampaikan dan kompensasi diberikan, banyak warga China merasa bahwa hukuman yang diterima tidak sebanding dengan luka yang mereka hadapi. Sebagian berpendapat bahwa serangan mungkin disengaja sebagai respon keras China terhadap aksi AS dan NATO di Serbia. Hal ini menyulitkan hubungan AS-China bahkan di masa mendatang, seperti yang diungkapkan Presiden Xi Jinping pada tahun 2024. Enggak cuma itu, insiden di Beograd juga terus diangkat kembali dan menjadi pemicu ketegangan antara kedua negara.





