Sumbangsih yang Luar Biasa, Soekarno Diberikan Pensiun oleh Indonesia?

by -120 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Aturan di Indonesia menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden akan menerima kenang-kenangan dari negara, baik berupa rumah maupun tanah. Presiden Joko Widodo dilaporkan akan diberikan rumah seluas 1.500 m2 di Colomadu, Karanganyar setelah menjabat pada tahun 2024 nanti.

Namun, kenang-kenangan masa pensiun tersebut tidak dirasakan oleh Presiden pertama Indonesia, yaitu Presiden Soekarno. Putri ketiga Soekarno, Rachmawati, mengungkapkan bahwa uang pensiun yang seharusnya diterima oleh keluarganya dari negara belum pernah diberikan kepada mereka.

“Kami bahkan tidak menerima perlindungan dan fasilitas sebagai mantan presiden,” kata Rachmawati, seperti yang dikutip dari buku “Keluarga Besar Bung Karno” (1998).

Pengakuan ini sejalan dengan kehidupan Soekarno setelah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Segala kehormatan yang diterima olehnya sebelumnya lenyap begitu saja.

Hal ini terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Popularitas Soekarno mulai menurun karena dianggap melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi objek kekesalan masyarakat. Puncaknya terjadi ketika Jenderal Soeharto muncul dengan Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar).

Dalam surat tersebut, Soeharto tidak hanya bertindak untuk menjaga ketertiban negara, tetapi juga menggoyangkan jabatan Soekarno. Akhirnya, Soeharto secara resmi mengambil alih kekuasaan dalam sidang MPRS pada 12 Maret 1967. Pada sidang tersebut, pidato pertanggungjawaban Soekarno ditolak.

MPRS malah melantik Soeharto menjadi Presiden Indonesia kedua. Sejak saat itu, Soekarno hidup seolah-olah sebagai rakyat biasa, meski dengan gelar yang berbeda.

Menurut Peter Kasenda dalam “Hari-hari Terakhir Sukarno” (2013), setelah berhenti menjabat, Soekarno diperintahkan oleh Presiden Soeharto untuk meninggalkan Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967. Tempat yang dulunya menjadi tempat kehormatan bagi Soekarno sekarang harus ditinggalkannya.

Sebagai gantinya, Soekarno diizinkan tinggal di paviliun di sekitar Istana Bogor. Namun, seiring berjalannya waktu, ia tidak betah dan meminta pindah, sehingga akhirnya menetap di Wisma Yasoo, Jakarta pada tahun 1967. Tetapi, tempat tinggal tersebut juga berada di bawah pengawasan dan pengendalian Soeharto. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu Soekarno adalah tahanan politik rezim Orde Baru.

Selama menjadi warga biasa, Soekarno hidup sendirian di rumah tanpa ada anggota keluarga yang menemani atau menjenguknya. Jika ada kunjungan, itu dilakukan dengan pengawasan ketat, izin, dan dalam waktu yang terbatas. Tentara bertanggung jawab atas pengawasan dan pemeriksaan terhadap Soekarno terkait keterlibatannya dalam G30S.

Menurut Asvi Warman Adam dalam bukunya “Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?” (2010), interogasi tersebut membuat Soekarno menjadi sangat depresi. Tentara terus mengajukan pertanyaan yang sama setiap hari, terlebih lagi Soekarno harus menahan sakit selama interogasi. Sebelum berakhir, terungkap bahwa Soekarno menderita penyakit ginjal yang cukup parah. Meskipun demikian, pengobatan yang diberikan kepadanya hanya seadanya dari dokter tanpa bantuan penuh dari rumah sakit.

Menurut Julius Pour dalam “Gerakan 30 September” (2011), pengalaman Soekarno di masa tua sangat merubah hidupnya. Ia mengalami pikun dan sering berbicara sendiri tanpa lawan bicara. Kesehatannya semakin memburuk seiring berjalannya waktu. Akhirnya, Soekarno meninggal dunia pada 21 Juni 1970. Setelah kepergian Bung Karno, kehidupan keluarga pun berjalan dengan kesulitan. Soekarno tidak meninggalkan warisan dan tidak menerima uang pensiun dari negara. Anak-anaknya harus mandiri untuk bertahan hidup.