Alasan Mengapa Bisnis Telkomunikasi Dapat Menjadi Pengubah Permainan

by -338 Views

Industri telekomunikasi memiliki peran yang strategis dalam pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, pemberdayaan di berbagai bidang, serta peningkatan jangkauan dan kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, guru besar bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan bahwa perkembangan ekonomi saat ini didukung oleh aktivitas ekonomi digital. Industri telekomunikasi memiliki sumbangan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia, terutama di kawasan ASEAN, di mana Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi digital tertinggi. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga pertumbuhan dan keberlangsungan industri telekomunikasi nasional.

Namun, industri telekomunikasi saat ini menghadapi tantangan yang sangat besar, salah satunya adalah tingginya beban regulatory cost. Jika pemerintah tidak dapat membuat regulasi yang dapat mengurangi regulatory cost, peringkat Indonesia di Harvard Business Review dapat turun menjadi “watch out”. Hal ini disebabkan oleh faktor literasi digital, kesenjangan digital di masyarakat, infrastruktur telekomunikasi, kompleksitas regulasi penggelaran infrastruktur telekomunikasi, dan tingginya regulatory cost. Poppy menyebutkan bahwa jika hal ini tidak diperbaiki, Indonesia bisa turun peringkat menjadi seperti negara-negara di Afrika.

Saati ini, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi merasa tidak puas dengan kualitas internet Indonesia yang hanya berada di peringkat 9 dari 10 negara ASEAN. Bahkan, peringkat kualitas dan kecepatan internet di Indonesia secara global berada di peringkat 98 dari 143 negara di dunia. Poppy menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya kualitas internet di Indonesia adalah tingginya regulatory cost operator telekomunikasi. Tingginya regulatory cost ini dapat melemahkan daya saing industri telekomunikasi nasional dan daya saing perekonomian Indonesia.

Data dari empat operator besar di Indonesia menunjukkan tren kenaikan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi setiap tahunnya. Komposisi beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler juga cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini disebabkan oleh formula perhitungan BHP frekuensi yang selalu menggunakan acuan angka inflasi. Menurut benchmark dari Coleago Consulting, komposisi biaya BHP frekuensi terhadap revenue yang dapat menjadikan industri tumbuh berkelanjutan adalah berada di bawah 5%. Jika komposisi regulatory cost tersebut di atas 10%, dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.

Poppy menyebutkan bahwa Indonesia dapat mengikuti negara lain yang memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama tiga tahun bagi perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru seperti 5G. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas internet di Indonesia dan berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Poppy juga menyarankan pemerintah dapat memberikan insentif berupa kemudahan perizinan seperti mendirikan tower dan penggelaran fiber optic.

Negara India juga memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% setelah gagalnya lelang frekuensi di beberapa pita pada tahun 2015 dan 2016. Perubahan ini berdampak pada meningkatnya kesehatan industri telekomunikasi dan score broadband yang lebih baik secara global, serta penetrasi 5G yang lebih cepat.

Dengan melakukan pembenahan fundamental di industri telekomunikasi, Indonesia diharapkan dapat meningkatkan daya saingnya dengan negara-negara di regional lainnya seperti Vietnam. Karena itu, pemerintah perlu memberikan insentif seperti keringanan BHP frekuensi dan kemudahan perizinan lainnya.