Pada tahun-tahun terakhir, Ahmad Nasrodin telah terlibat dengan industri coklat. Ia bersama dengan penduduk desanya di Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunung Kidil Yogyakarta, mencoba mengubah usaha bertani kakao menjadi produksi produk coklat.
Semua ini dimulai pada tahun 2017, dengan luas lahan 10,5 hektar atau 4.000 pohon kakao, sulit bagi mereka untuk meraih kemakmuran tanpa melakukan inovasi dalam usaha mereka. Dengan bantuan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), para petani dapat mengelola potensi lain kakao yang dihasilkan untuk mendapatkan nilai tambah.
Ahmad menyatakan bahwa sebelumnya mereka hanya menjual biji kakao kering, namun setelah dilakukan pengolahan, harga kakao mereka meningkat. Dengan proses fermentasi, harga kakao yang dihasilkan dapat meningkat hingga beberapa kali lipat.
Dengan bantuan dari LPEI, para petani berhasil menghasilkan beberapa produk coklat lain seperti bubuk coklat dan lemak coklat. Dari pengolahan 3 kilogram kakao, mereka dapat menghasilkan 1 kilogram bubuk coklat dengan harga Rp 250.000, serta lemak coklat dari 5 kilogram biji kakao dengan harga sekitar Rp 175.000.
Meskipun produk coklat kurang diminati di Yogyakarta, mereka tetap berupaya melakukan inovasi dengan membuat produk lain seperti ampyang atau brownies.
Dalam hal kualitas, kakao Ahmad dan petani lainnya tidak kalah saing. Fermentasi membuat pembeli asing tertarik dengan coklat yang dihasilkan, seperti Cokelat Monnier yang dipasarkan di luar negeri.
Potensi ekspor coklat Indonesia sangat besar, dan LPEI telah meresmikan Desa Nglanggeran sebagai desa devisa sejak Mei 2023. Desa tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Keuangan, PT SMF, dan LPEI untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa dan kesejahteraan masyarakat desa.
Pendampingan yang dilakukan juga melibatkan pihak Kemenkeu dan ahli ekspor, dengan harapan dapat memperkenalkan cokelat Nglanggeran dari level lokal hingga ke level global. Semoga inovasi-inovasi ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa.