Jakarta, CNBC Indonesia – China telah lama ada di dunia dengan sejarah yang sangat panjang. Namun, sejarah panjang itu diwarnai dengan dinamika yang sengit: perang saudara, perselisihan elit, invasi bangsa asing, dan sebagainya.
Untungnya, semua konflik itu mereda ketika seorang anak petani miskin bernama Mao Zedong memproklamirkan negara baru yang bernama Republik Rakyat China pada 1 Oktober 1949. Mao berhasil menyatukan seluruh rakyat China di bawah bendera negara komunis terbesar di dunia.
Sejak saat itu, China memperingati tanggal 1 Oktober sebagai Hari Nasional (China National Day). Untuk merayakan itu, China memberlakukan libur selama 7 hari tahun ini.
Lalu, bagaimana seorang anak petani miskin bisa mendirikan dan membawa China berjaya?
Sejak lahir pada 26 Desember 1893, Mao Zedong sudah mengalami kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Dia melihat bangsawan China hidup enak di istana, sedangkan rakyat kecil seperti dirinya hidup sengsara.
Dari situlah, Mao bertekad untuk melakukan perubahan. Satu-satunya cara adalah dengan bersekolah, meskipun putus-nyambung karena faktor biaya. Tekad itu semakin kuat ketika dia terlibat dalam revolusi yang digagas oleh tokoh nasionalis Sun Yat Sen.
Sun Yat Sen berhasil menumbangkan Kerajaan China yang telah ada selama ribuan tahun dan menggantikannya dengan Republik China. Namun, Mao tidak menyukai pendirian Republik China tersebut.
Pria yang sudah familiar dengan paham komunisme dari Rusia melihat bahwa Sun Yat Sen tidak memihak kepada petani. Malah, Sun cenderung mendukung kaum kapitalis dan bangsawan, sementara rakyat kecil seperti petani, buruh, tukang becak, dan guru tidak diperhatikan.
Dari sinilah, Mao muda, seperti yang tertulis dalam buku “History of China” (2015), mendorong para petani dan kelompok masyarakat kecil untuk melakukan revolusi babak kedua. Kali ini, dia bergabung dengan Partai Komunis China (PKC) yang didirikan pada tahun 1921.
Revolusi yang dipimpin oleh Mao dan didukung oleh Kuomintang kemudian menghasilkan konflik dengan pemerintah. Singkat cerita, Mao berhasil menggulingkan pemerintah dan militer. Namun, setelah itu terjadi Perang Saudara antara PKC dan Kuomintang.
Perselisihan antara PKC dan Kuomintang sangat sengit. Kedua pasukan saling serang untuk mengukuhkan posisi mereka di China. Mao, yang didukung oleh kelompok kecil, akhirnya berhasil menguasai negeri.
Pada 1 Oktober 1949, Mao menyatakan berdirinya Republik Rakyat China. Sementara lawannya, Kuomintang, harus mengungsi dan tinggal di pulau kecil yang sekarang dikenal sebagai Taiwan. Ketika menjadi pemimpin, Mao ingin China berjaya di bidang ekonomi, namun bukan melalui sistem kapitalis, melainkan sosialis.
Salah satu caranya adalah melalui kampanye “Lompatan Hebat ke Depan” (Great Leap Forward). Kampanye ini menekankan produksi industri baja daripada pertanian. Dengan cara massal, petani beralih ke sektor industri. Petani dapat menanam asalkan sesuai dengan proyeksi pemerintah.
Melalui cara ini, kekayaan yang terkonsentrasi di daerah-daerah kemudian didistribusikan hingga ke daerah-daerah terpencil, untuk rakyat miskin di daerah-daerah tersebut. Akibatnya, kesenjangan ekonomi di China hampir tidak ada.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan dampak buruk karena menyebabkan 20 juta orang meninggal kelaparan, sehingga dianggap sebagai kegagalan. Setelah itu, Mao mencoba membuat Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966 sebagai upaya untuk memobilisasi generasi muda dalam melawan kapitalisme dan feodalisme.
Namun, program ini juga gagal. Akhir cerita, serangkaian kegagalan membuat pengaruh Mao merosot. Mao sendiri meninggal pada 9 September 1976. Setelah itu, China dipimpin oleh Deng Xiaoping yang membawa China menuju era modernisasi.
Meskipun banyak kegagalan, eksistensi China saat ini tidak bisa dilepaskan dari upaya penyatuan dan kontrol yang kuat atas fondasi yang dibangun oleh Mao Zedong, seorang anak petani miskin, ketika mendirikan negara komunis pada 1 Oktober 1949.
(mfa/mfa)