Warga Indonesia Ini Suka Menikmati Nasi Garam dan Memiliki Koleksi Perhiasan yang Banyak

by -339 Views

Jakarta, CNBC Indonesia – Kekayaan yang ditunjukkan kadang-kadang berbeda dengan gaya hidup sehari-hari seseorang. Ada yang memiliki banyak perhiasan, namun pola makan sehari-harinya seperti orang miskin.

Kasus seperti ini bukan sekadar fiksi, melainkan benar-benar terjadi pada masyarakat Palembang sekitar 163 tahun yang lalu. Hal ini diungkapkan oleh penjelajah Eropa, Alfred Russel Wallace, ketika mengunjungi Bumi Sriwijaya pada tahun 1861 dan 1862.

Sesampainya di Palembang setelah menempuh perjalanan laut selama berjam-jam dari Batavia, Wallace melihat bahwa kebiasaan masyarakat Palembang jauh berbeda dengan kekayaan yang mereka miliki.

Pada saat itu, masyarakat Palembang lebih memilih makan nasi kering yang dicampur garam dan cabai merah dua kali sehari sebagai makanan utama sepanjang tahun.

Awalnya, Wallace mengira bahwa kebiasaan ini adalah tanda kemiskinan yang sangat akut. Karena kebiasaan tersebut sejalan dengan kondisi pangan yang sangat memprihatinkan saat itu di Sumatera.

Namun, secara perlahan terungkap bahwa kebiasaan tersebut bukanlah tanda kemiskinan, melainkan sekadar adat istiadat. Banyak dari mereka bahkan memiliki perhiasan, yang dipakai oleh anak-anak dan perempuan.

“Mereka dipenuhi dengan gelang perak dari pergelangan tangan hingga siku. Mereka juga membawa lusinan koin perak yang dienamkan di leher atau digantung di telinga mereka,” ungkap Wallace.

Jadi, tidak mungkin mereka hidup dalam kemiskinan jika memiliki banyak perhiasan. Kesimpulan Wallace ini kemudian sejalan dengan catatan penjelajah William Marsden dalam History of Sumatra (1966). Marsden menyoroti fakta bahwa warga Sumatera secara umum mudah mendapatkan makanan bergizi seperti unggas, ikan, sayuran, dan daging sapi.

Dengan temuan Marsden, seharusnya mayoritas warga yang dilihat oleh Wallace mudah mendapatkan makanan yang bergizi. Namun, tidak ada catatan lebih lanjut mengenai adat istiadat tersebut, termasuk motif dan tujuannya.

Meskipun begitu, temuan Wallace mengindikasikan bahwa masyarakat Palembang hidup dalam kemakmuran. Hal ini bisa terjadi karena Palembang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan internasional dari masa kerajaan kuno hingga penjajahan Belanda.

Fakta ini membuat banyak lapisan masyarakat mudah berdagang. Mereka biasanya melakukan perdagangan dengan mengikuti Sungai Musi dari hulu hingga hilir. Barang dagangan yang dijual meliputi komoditas ekspor seperti lada dan timah.

Kemudahan dalam berdagang ini juga terlihat dari jaringan jalan raya dan kelak jaringan rel kereta api pada awal abad ke-20. Pesatnya perdagangan di Palembang membuat sejarawan Anthony Reid dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (2011) memasukkan Palembang sebagai salah satu dari tiga kota terbesar di Sumatera, selain Medan dan Bukittinggi.

Dengan bantuan perdagangan yang mudah, ekonomi masyarakat juga mengalami perkembangan. Mereka menjadi mudah mendapatkan perak dan emas, yang mudah ditambang di wilayah Sumatera.