Demi Naik Haji, Warga RI Rela Utang: Rentenir Menyusul

by -20 Views

Ibadah haji dalam agama Islam merupakan kewajiban bagi umat Muslim yang mampu, baik dari segi fisik, spiritual, maupun finansial. Di Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, ibadah haji memiliki makna yang sangat penting. Selain sebagai bagian dari rukun Islam, haji juga sering dijadikan simbol status sosial di masyarakat. Oleh karena itu, animo untuk menunaikan ibadah haji selalu tinggi setiap tahunnya, bahkan banyak orang yang rela berutang untuk mewujudkannya.

Pada masa lalu, biaya haji jauh lebih besar dibandingkan dengan saat ini. Pergi haji pada era penjajahan Belanda dilakukan dengan kapal laut yang memakan waktu cukup lama, yakni sekitar 1-2 bulan sebelum dan sesudah pelaksanaan haji. Hal ini tentu mengharuskan para calon jamaah haji menyiapkan biaya yang cukup besar untuk transportasi, akomodasi, keperluan haji di Makkah, dan pulang pergi.

Menurut catatan sejarah, pada tahun 1900-an biaya haji mencapai 500-800 gulden, yang merupakan jumlah yang tidak sedikit. Bagi orang-orang kaya, biaya tersebut mungkin mudah didapatkan, namun bagi rakyat biasa, terutama mereka yang tidak memiliki penghasilan yang cukup, seringkali harus berutang untuk membiayai haji. Banyak petani, misalnya, yang meminjam uang dengan jaminan tanah untuk mewujudkan keinginannya menunaikan haji.

Namun, ketika para jamaah haji pulang ke Tanah Air, muncul masalah baru karena banyak dari mereka tidak mampu mengembalikan utang yang dulu mereka ambil. Akibatnya, mereka terpaksa harus menyerahkan jaminan yang mereka berikan sebelumnya atau bahkan bekerja secara paksa sampai utang terlunasi. Meskipun berutang untuk haji adalah hal yang lazim, masih ada orang dari kelas bawah yang tidak berutang dan bahkan menjual aset seperti tanah, ladang, perhiasan, atau hewan ternak untuk membiayai haji. Itulah kenyataan yang terjadi di masa silam terkait dengan pembayaran biaya haji.

Source link