Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan pendekatan baru dalam tata kelola zakat nasional. Salah satu usulan yang sedang dibahas adalah membuat sistem pengelolaan zakat mirip dengan sistem perpajakan, dengan fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan integrasi data secara nasional. Menurut Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama, Prof Waryono Abdul Ghafur, zakat perlu dielola secara terstruktur dan terdokumentasi agar distribusinya lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Pemerintah juga mendukung digitalisasi pelaporan zakat untuk memperkuat kerjasama dengan BAZNAS, LAZ, dan pemerintah daerah.
Kiai Ma’ruf Amin menyambut baik inisiatif tersebut, menganggap zakat sebagai instrumen penting dalam membangun ekonomi syariah yang adil. Dia menekankan bahwa zakat bukan hanya kewajiban agama tetapi juga alat untuk pemberdayaan ekonomi. Pada tahun 2024, dana ZIS dan DSKL berhasil terkumpul hingga Rp 40,5 triliun, dengan jumlah penerima manfaat zakat mencapai 119 juta jiwa.
Untuk lebih memperluas ekonomi syariah ke daerah, pentingnya peran Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah (KDEKS) diakui sebagai bagian dari strategi nasional. KDEKS telah dibentuk di 31 provinsi, menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mendukung ekonomi syariah. Kiai Ma’ruf juga mengapresiasi kepala daerah lintas agama yang terlibat aktif dalam KDEKS, menekankan inklusivitas dan adaptabilitas prinsip syariah dalam pembangunan daerah.
Integrasi zakat dan wakaf dengan pembangunan daerah menjadi strategi nasional jangka panjang. Kiai Ma’ruf menekankan bahwa ekonomi syariah harus diimplementasikan secara profesional dan terukur, bukan hanya sebagai konsep normatif belaka. Artinya, zakat tidak hanya sebagai kewajiban keagamaan, tapi juga sebagai alat strategis dalam membangun ekonomi syariah yang berkeadilan.