Jakarta, CNBC Indonesia – Gajah mati meninggalkan gading. Sementara manusia mati meninggalkan nama. Demikian yang terjadi pada crazy rich China bernama Tjong A Fie.
Semasa hidup, Tjong A Fie memiliki kerajaan bisnis besar. Alih-alih dipakai memperkaya diri sendiri, dia malah mengalihkan semua keuntungan untuk membangun salah satu kota di Indonesia sekaligus juga ikut serta membangun masjid.
Bagaimana Kisahnya?
Tjong A Fie adalah warga China asli yang mencari peruntungan di Indonesia pada tahun 1878. Dia datang ke Medan agar bisa kaya raya. Awalnya dia kerja sebagai penjaga toko kelontong.
Di perantauan, Tjong A Fie tak seperti orang China lain. Dia jujur, tak berjudi, tak mabuk, tak main wanita, dan pandai bergaul. Dia berteman dengan orang Belanda, India, pribumi dari jelata hingga elite.
Singkat cerita, pergaulan luas yang dibangun membawa berkah. Berkat berteman dengan Sultan Deli, dia diberi konsesi perkebunan tembakau yang jadi primadona ekspor. Dari sini, Tjong A Fie mulai memupuk kekayaan.
Seluruh keuntungan digunakan untuk modal bisnis baru, yakni perkebunan karet. Kala itu, karet banyak diremehkan orang. Namun, intuisi Tjong A Fie berkata lain. Dia yakin perkebunan karet bakal sukses.
Benar saja, tak lama kemudian, pada 1891 harga tembakau turun dan harga karet meroket. Pada titik ini dia pun cuan banyak. Lagi-lagi seluruh cuan dipakai untuk diversifikasi bisnis.
Benny G. Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2003) mencatat dia membeli kebun, mendirikan pabrik gula, perusahaan kereta, bank, hingga jadi investor di banyak perusahaan.
Semua itu membuat Tjong A Fie makin kaya dan dijuluki sebagai crazy rich. Menariknya, kepemilikan harta melimpah tak membuatnya terlena. Dia aktif dalam kegiatan sosial dan membangun Kota Medan.
Menurut Benny G. Setiono, langkah ini diambil Tjong A Fie karena merasa harta kekayaannya berasal dari “uang panas”, sehingga harus dikembalikan membantu masyarakat. “Uang panas” maksudnya berasal dari keuntungan monopoli penjualan candu, dan kegiatan yang dianggap di luar norma.
“Maka, dia banyak melakukan kegiatan sosial dengan membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum,” ungkap Benny.
Sebagai kota berpenduduk mayoritas Muslim, Tjong A Fie, yang non-Muslim dan bukan warga lokal, turut membangun masjid. Dia mengalihkan keuntungan demi membiayai seluruh pembangunan masjid di banyak kawasan Medan. Selain itu, dia juga menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunan Masjid Raya Medan. Semua ini dilakukan karena rasa hormatnya ke Sultan Deli dan kaum Muslim.
Tak hanya masjid, Tjong A Fie juga turut membangun klenteng, pura, dan gereja. Dia juga membangun sekolah, rumah sakit, jembatan, jalan, dan infrastruktur lain. Tak heran pria kelahiran 1860 ini disebut menjadi salah satu motor penggerak pembangun kota Medan pada masa kolonial.
Dia sangat dihormati karena sikap dermawan tanpa membeda-bedakan ras dan agama. Saat kabar dirinya wafat pada 8 Februari 1921 karena sakit, tangis warga Medan pun pecah. Ribuan orang melayat datang ke rumahnya. Bahkan, warga Aceh, Padang, Penang, Malaya, hingga Jawa turut serta melayat.
Usai wafat, seluruh peninggalannya masih berdiri tegak sampai sekarang. Di Medan, ada beberapa jalan yang menggunakan namanya sebagai bentuk penghormatan.
(mfa/sef)